“Akan lebih elok kalau anggaran kurang lebih Rp1,14 miliar itu, mengundang dua atau tiga narasumber untuk didatangkan ke Ternate. Artinya, jika itu terjadi maka nilainya pun tidak terlalu besar, paling-paling sekitar Rp200 sampai Rp250 juta. Sehingga sisa anggaran yang rencananya patungan bisa digunakan, untuk kebutuhan lainnya di kelurahan masing-masing,” jelas dia.
Ini penting, karena yang harus menjadi pertimbangan yaitu aspek kapasitas fiskal daerah.
“Kebutuhan daerah ini kan masih sangat banyak. Dengan kapasitas fiskal yang terbatas, otomatis alokasi belanja bisa dipertimbangkan. Apakah ini penting atau tidak, sehingga kebijakan apa yang diambil itu bisa terukur dengan baik,” bebernya.
Disisi lain, Aziz juga mempertanyakan indikator apa saja yang perlu dilakukan, sehingga alasan Bimtek ke Bali, yakni untuk mengupgrade kapasitas.
“Apa yang perlu di upgrade dari Lurah-lurah ini? Karena kalau berkaitan dengan kebijakan, maka tidak memiliki relevansi yang kokoh di situ,” ungkapnya.
Dirinya berharap, jika rencana Bimtek itu dilakukan, maka pantasnya para Lurah bisa mengimplementasikan hasil Bimtek di kelurahan masing-masing. Apalagi yang menjadi sasaran Bimtek, yaitu mengenai pengolahan sampah.
“Jadi kembalinya mereka (Lurah) ke Ternate, mereka bisa mengagas ide-ide soal apa yang dipelajari sewaktu di Bali. Mereka bisa membuat bank sampah yang kemudian itu bisa dikelola, dan menghasilkan pendapatan untuk PAD Kota Ternate,” pungkasnya.
Sekadar diketahui, rencana keikutsertaan 78 Lurah pada Bimtek di Bali ini, menelan anggaran sebesar Rp1,14 miliar. Dimana jumlah fantastik itu didapat dari hasil patungan seluruh Lurah. Masing-masing Lurah memberikan Rp13 juta yang diambil dari Dana Kelurahan. (*)