Senin, 25 November 2024
Opini  

Keberagaman dalam Pusaran Politik Identitas

Ketua Bawaslu Kota Tikep, Bahrudin Tosofu | Foto: Istimewa/Malut Kaidah

Memang, dalam konteks demokrasi penegasan identitas bukanlah persoalan melainkan keniscayaan. Penguatan identitas dalam konteks demokrasi sesungguhnya menegaskan kebinekaan, pluralisme. Tujuannya, agar kita saling mengenal dan menghargai.

Apalagi, keberagaman punya argumentasi yang sangat kuat, baik dari sisi filosofis, teologis, ideologis, konstitusional, etis, sosiologis, maupun historis.

Keberagaman adalah fakta. Kita menyaksikan, merasakan, dan mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah kita adalah bagian dari kelompok etnik, gender, atau agama tertentu? Kita bahkan menjadi bagian dari satu identitas.

Tapi yang perlu dipahami, masa transisi semestinya menjadikan Indonesia lebih demokratis. Era transisi demokrasi menjadi jembatan menuju konsolidasi demokrasi yang sesungguhnya. Melalui jalan demokrasi, Indonesia diharapkan dapat mengelola keberagaman.

Namun di era transisi demokrasi ini kerap dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu, untuk membajak demokrasi melalui ekspresi identitas yang berlebihan.

Gardiner H. W dan Kosmitzki, C melihat identitas sebagai “definisi diri seseorang sebagai individu yang berbeda dan terpisah. Termasuk perilaku, kepercayaan dan sikap.” Artinya, di balik pentingnya identitas dalam perkembangan sosial-psikologi manusia, identitas itu sendiri menyimpan sisi gelap. Banyak penelitian menyebutkan, orang cenderung menyukai orang dengan identitas yang sama. Sekurang-kurangnya, orang lebih menyukai atau percaya kepada orang dari kelompok yang sama ketimbang kelompok yang berbeda.

Survei Majalah Intisari April 2011, misalnya, menunjukkan tingkat kepercayaan terhadap orang sesama etnis sebesar 62%. Angka ini lebih besar dibanding tingkat kepercayaan kepada orang dari etnis berbeda, yakni 53%. Meski survei ini sudah begitu lama, tapi masih dapat dijadikan pedoman untuk melihat soal itu.

Dari sini, identitas kemudian bisa menghasilkan ‘kelompok kita’ dan ‘kelompok mereka’. Hal itu dapat mengarah pada stereotip, prasangka, rasisme, dan etnosentrisme. Dan pada titik ekstrem, polarisasi semacam ini berpotensi menimbulkan konflik.

Jurnalisme, sebagai salah satu pilar demokrasi, semestinya ikut mewujudkan dua sisi mata pisau keberagaman tadi. Namun, jurnalisme pun seakan setengah hati, dan diliputi ketidakpastian dalam menegakkan demokrasi dan mengelola keberagaman.

Padahal, perhelatan demokrasi merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya. Momentum pemilu akan menjadi parameter dalam mengukur prinsip demokrasi sebuah negara.

Di sini, rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke akan menentukan masa depannya. Itu berarti, pemimpin hadir berdasarkan kepercayaan rakyat. Dan jurnalisme hadir mengawal kepercayaan itu. *