Oleh: Bahrudin Tosofu
(Ketua Badan Pengawas Pemilu Kota Tidore Kepulauan)
Salah satu media secara gamblang memuat judul berita: “Prabowo Gandeng Putra Gorontalo”. Halaman depan koran itu tersebar di media sosial facebook. Namun pada laman komentar, seorang warganet mengunggah potongan halaman depan koran Koran lain, dengan judul berita: “Prabowo Pilih Putra Riau”.
Pertarungan wacana identitas ini, memang sempat mengemuka pada Pemilihan Presiden 2019. Dari sini, dapat disimpulkan, pers tidak pernah bisa sepenuhnya objektif dalam menyiarkan berita.
Padahal, dalam konteks ini, jurnalisme harus dipahami sebagai sebuah instrumen yang menjadi bagian dari proses politik. Pada akhirnya, kekhawatiran kita menjadi semakin beralasan atas gaya pemberitaan pers seperti ini.
Karena ekspresi identitas yang terlampau berlebihan, justru akan menampakkan sisi gelap identitas itu sendiri. Sisi gelap inilah yang notabene merupakan perlawanan terhadap keberagaman, yang ternyata terefleksi dalam pemberitaan pers.
Memang, tak bisa dipungkiri, keberagaman menjadi salah satu isu paling mengemuka sejak Indonesia memasuki era reformasi. Di sini, identitas, suku, ras, maupun gender mengalami penegasan.
Ibarat dua sisi mata pisau. Ia bisa menunjukkan betapa kayanya Indonesia dengan keragaman. Tapi di sisi lain, media hadir memberi penguatan pada aspek etnis, yang jika tidak disikapi secara objektif, tentu menciptakan konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Meminjam gagasan Geertz tentang politik primodial, adalah sebuah sentimen yang tak rasional. Hal ini tampaknya lahir dari pendekatan yang a-historis dan kurang tanggap terhadap dimensi struktural masyarakat.
Kesukuan, sejatinya berangkat dari protes sosial dengan dasar kepentingan politik dan ekonomi, yang semestinya dapat diidentifikasi dan dijelaskan secara rasional oleh pers.
Sebab penguatan identitas kerap memicu gesekan dan pertikaian yang berujung konflik. Di samping itu, justru membatasi siapa kita, siapa mereka. Alih-alih menciptakan keberagaman, namun kelompok arus utama yang bisa saja merasa terancam, akan memperlihatkan eksistensinya.
Mereka pun merasa berhak untuk mengespresikan identitas mereka seluas-luasnya. Tak heran, jika konflik horizontal di era yang diklaim demokratis ini, lebih luas dan mengigit dibanding masa Orde Baru. Di sini Pers seakan ikut terlibat memberikan peluang konflik.