HALSEL, KAIDAH MALUT – Rencana Harita Group, melalui anak usahanya, PT Trimegah Bangun Persada (TBP), akan menambah modal melalui IPO saham, dengan valuasi hingga Rp 15,1 triliun.

Penambahan modal itu, semakin membuat warga di Pulau Obi, Maluku Utara dan Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara semakin menderita.

Pasalnya, dua pulau padat penghuni itu, tengah luluh lantak oleh tambang dan pabrik smelter nikel, milik keluarga konglomerat Lim Hariyanto Wijaya Sarwono itu.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam rilisnya, Jumat, 24 Maret 2023 menyebutkan, masa penawaran awal, saham TBP (NCKL pada 15 maret 2023 dan berakhir pada Jumat hari ini.

Kemudian berlanjut pada masa penawaran umum saham, pada 5-10 April 2023. Dan pencatatan (listing) di Bursa Efek Indonesia pada 12 April 2023.

“Gelontoran dana segar hingga Rp 15,1 triliun dari IPO ini, untuk mempercepat proses produksi guna meraih keuntungan berlipat-ganda,” tulis Jatam.

Upaya Harita Group mengumpulkan tambahan modal yang begitu besar, tentu tidak lepas dari rencana pembangunan pabrik pengolahan nikel yang kedua di Pulau Obi.

Saat ini, PT TBP sudah memiliki satu pabrik pengolahan nikel di Desa Kawasi, Pulau Obi, dengan menggunakan proses High Pressure Acid Leaching, yakni PT Halmahera Persada Lygend, hasil kerja sama dengan perusahaan asal China, Lygend.

Ekstraksi nikel perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group, telah meninggalkan daya rusak yang panjang, tak terpulihkan.

Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem.

“Belum lagi telah membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal,” sebut pihak Jatam.

PENGHANCURAN DARATAN PULAU OBI

Jejak kotor Harita di Kawasi, bukan hanya dari pembangunan pabrik pengolahan nikel semata, namun juga dari operasi pertambangan nikel sejak 2010 lalu.

Kawasi merupakan kampung tertua di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Luasnya mencapai sektiar 286 KM2, dengan lebih dari 1.118 jiwa penduduk.

Masyarakat Kawasi hidup di daratan dan pesisir Pulau Obi sejak tahun 1980-an. Mereka termasuk para pendatang dari Tobelo-Galela di Pulau Halmahera, dan sebagian lagi dari Buton. Mata pencaharian warga adalah berkebun dan melaut.

Sejak perusahaan tambang masuk dan beroperasi, Kawasi – yang semula warga hidup damai, bertani dan melaut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, berubah menjadi area pertambangan yang meluluh-lantakan wilayah daratan, pesisir, dan laut.

Lahan-lahan warga merela caplok, tanaman perkebunan lenyap, sumber air tercemar, udara penuh dengan debu dan polusi, air laut keruh-kecoklatan, bahkan ikan-ikan tercemar logam berat.

“Menyedihkan. Proses pencaplokan lahan-lahan warga itu dengan cara kekerasan dan intimidasi. Bahkan sebagian warga yang menolakpenggusuran lahan mereka, justru berhadapan dengan tindakan represif aparat negara dan perusahaan,” tulis Jatam dalam rilisnya.

Hampir seluruh sumber air warga Kawasi telah tercemar, akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan.

Warga, yang sebelum tambang masuk dan beroperasi bisa mendapatkan air secara gratis, kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih.

“Sebagian warga yang secara ekonomi kekurangan, terpaksa tetap bergantung pada sumber air yang telah tercemar,” tulis Jatam.

Air Cermin dan Sungai Loji, yang sebelumnya sebagai sumber air bersih, kini telah lenyap pasca perusahaan membongkar sebagian besar kawasan hutan di daratan hingga pesisir.

Sementara Sungai Ake Lamo, sungai terbesar di Pulau Obi, perusahaan tambang telah membongkar kawasan hulunya.

Bukit-bukit yang menjadi daerah aliran dan badan sungai telah hancur, menyebabkan sungai ini dalam kondisi tercemar dan rusak.

Pihak perusahaan juga merusak ruang laut tempat nelayan mencari ikan di Pulau Obi. Limbah-limbah mereka buang ke sungai-sungai dan mengalir ke laut, menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan.

“Pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan, diduga mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan rentan tercemar logam berat,” kata Jatam. (*)