“Sehingga sampah-sampah yang sudah dipilah ini, bernilai ekonomi,” lanjut dia.
Ketiga, yakni berskala TPS. Pemkot menyiapkan patroli sampah, dengan pengadaan mobil L300 untuk membantu, apabila waktu pembuangan sampah sudah melebihi batas ketentuan, dan armada kaisar sudah tidak melayani angkut sampah.
Keempat adalah skala TPA, yakni melakukan pengurangan sampah. Sebab, sampah sebelumnya sudah diproses melalui trans depo.
“Jadi ke depan nanti sampah di TPA berkurang karena sudah dipilah saat di trans depo. Jadi itu memberi nilai ekonomis. Intinya ini barang tinggal DLH bergerak sedikit lah,” pungkasnya.
Terpisah Anggota Komisi III, Nurlela Syarif saat dikonfirmasi usai RDP menjelaskan, bahwa apa yang dikonsepkan oleh Bappelitbangda itu sudah baik. Hanya saja, butuh kolaborasi dengan DLH.
Nurlela juga menyayangkan ketidakhadiran Kepala Dinas DLH dan Kabid Persampahan, saat rapat tadi. Padahal, pembahasan pengelolaan sampah tupoksinya ada di DLH.
“Kami undang Kadis DLH dan Kabid Persampahan tapi tidak hadir. Padahal tujuan rapat ini untuk menyamai persepsi, dalam penanganan sampah. Sudah sejauh mana dan apa saja yang dibuat,” kata Nurlela.
Harapannya, apa yang menjadi perencanaan pemerintah ini bisa berjalan sesuai visi misi Wali Kota Ternate, yakni Ternate Andalan.
“Sebenarnya kalau dilihat dari konsepnya itu sudah sesuai RPJMD dan visi misi. Hanya lemahnya diimplementasi. Karena pemahamannya DLH selama ini, konsep sampah itu hanya angkut dan buang. Padahal itu harus ada konsep pemberdayaan,” ujarnya.
Konsep pemberdayaan yang dimaksud Nurlela, yakni kaisar yang disediakan menjadi jalur, ketika beroperasi nanti armada ini bisa sekaligus sosialisasi ke masyarakat. Seperti meminta warga untuk memilah terlebih dahulu sampah, yang diproduksi sebelum diangkut armada kaisar dan dibawa ke TPS3R untuk diolah.
“Salah kalau DLH merasa bahwa TPS3R belum melakukan penyerahan aset dan sebagainya. Karena tupoksi itu harus dijemput bola, bukannya duduk diam dan menunggu. Sehingga pemahaman inilah yang sangat disayangkan,” tambahnya.
Menurut Nurlela, DLH hanya mengandalkan metode tradisional. Sementara yang dipresentasikan oleh Bappelitbangda, bila dilihat semua sistem sudah ada.
“Kalau ini sebenarnya sudah membantu tugas DLH. Mereka berpikir urusan pembayaran ada di lurah, dan lurah dapat insentif. Jadi kemungkinan mereka berpikir lurah saja dapat insentif, lantas kenapa kita tidak. Padahal itu salah persepsi, karena distribusi kewenangan dan bantuan itu, intervensinya DLH,” pungkasnya. (*)