Sabtu, 2 November 2024

HIMPSI Malut Minta Semua Pihak Terkait Menjaga Privasi Anak dan Remaja yang Terjaring Razia

Ketua HIMPSI Malut, Syaiful Bahri | Foto : Istimewa/Kaidahmalut

TERNATE, KAIDAH MALUT – Ketua Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah Maluku Utara (HIMPSI), Syaiful Bahri meminta, kepada semua pihak yang ikut terlibat dalam razia penyakit sosial di Kota Ternate, agar lebih menjaga privasi dari anak-anak maupun remaja yang terjaring razia.

Menurut Dosen Psikologi di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara ini, secara psikologis sudah tentu berdampak pada remaja dan anak-anak yang terjaring razia. Sehingga dikhawatirkan kedepan ada sanksi sosial berupa celaan, bullying, dan lainnya. Baik itu dari peergrup (teman sebayanya), ataupun masyarakat dilingkungan tempat anak atau remaja itu tinggal.

“Untuk itu secara pribadi, saya menyarankan jika pengunggah berniat untuk mengimbau kepada orangtua, ataupun masyarakat agar mengontrol anak-anak mereka, cukup melakukannya dengan mengunggah pesan saja dan tidak perlu menyertakan foto karena itu juga melanggar privasi anak atau remaja tersebut dan keluarganya,” kata Syaiful saat dikonfirmasi malut.kaidah.id, Ahad, 13 Maret 2022.

Syaiful menjelaskan, ketika seseorang menyebarkan foto dan video dengan menampakan wajah anak-anak tersebut, itu justru sudah menyebarkan sebuah kekerasan yaitu, kekerasan visual.

Anggota Komisi III DPRD Kota Ternate, Nurlela Syarif juga ikut menyayangkan hal tersebut bisa terjadi. Yang jelas kata Nella sapaan akrabnya, berdasarkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 bahwa, anak wajib dilindungi negara dan daerah atas identitas dan tidak ikut serta mempublikasi anak dan remaja, ketika terlibat dalam kenakalan remaja.

Menurutnya, ada etika dan tanggungjawab sosial atas tindakan yang melakukan eksploitasi terhadap apapun bentukya.

“Kalau mau dipublikasi setidaknya disamarkan, agar tidak dilihat menjadi sanksi sosial dan moral,” cetus Nella.

Selain itu, lanjut Nella, masa depan anak-anak juga masih panjang.

“Bayangkan jika teman-teman atau mereka sendiri dan lingkungan sosial melihat secara transparan perilaku anak-anak ini, kan ada rekam digitalnya secara moral dan mental anak-anak ini, bukannya kita membantu malah melemahkan mereka secara psikis dan mental,” terangnya.

Dia berharap bagi semua pihak yang berwenang dalam masalah sosial seperti ini, khususnya anak-anak yang telibat dalam kenakalan remaja harus dilindungi, diberikan bimbingan bekerjasama dengan keluarga dan lingkungan baik secara pendidikan, spritual dan pemberdayaan.

Sebab, sambung dia, masa depan anak-anak maupun remaja yang notabene juga korban kenakalan ini masih panjang.

Olehnya itu, jangan sampai lantaran eksploitasi media sosial lantas membuat anak atau remaja merasa kebal.

“Karena mereka merasa bahwa sosial sudah menghukum mereka akhirnya mereka malu, menjadi tambah depresi atau bisa jadi mereka akan semakin menjadi generasi yang acuh tak acuh, karena sudah dinilai salah dan tambah berpengaruh pada tingkat kenakalan yang akan mereka lakukan,” sambung Nella.

“Semoga ini menjadi pelajaran untuk semua atas budaya memposting informasi yang melibatkan anak, perlu pendekatan etika dan tanggungjawab sosial,” harapnya.*