Jumat, 14 Maret 2025
Opini  

Adab, Jabatan, dan Cium Tangan: Saat Pejabat Mengabaikan Budaya

Ruslan Taher Sangadji (Kaidahmalut)

Oleh: Ruslan Taher Sangadji
Diaspora Ternate di Bogor

Jumat, 21 Februari 2025, sebuah video pendek beredar luas, memperlihatkan seorang pria berkaos hitam mencium tangan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda. Banyak yang menduga pria tersebut adalah Rizal Marsaoly, Sekretaris Kota Ternate. Jika benar demikian, tindakan ini bukan sekadar gestur biasa, tetapi mencerminkan pengabaian terhadap adat Moloku Kie Raha dan etika pejabat publik.

Rizal Marsaoly lahir pada tahun 1976, sementara Sherly Tjoanda lahir pada 1982. Dalam adat Moloku Kie Raha, usia bukan sekadar angka, tetapi mencerminkan urutan penghormatan dalam masyarakat. Seorang yang lebih tua wajib dihormati oleh yang lebih muda, baik dalam interaksi sosial maupun budaya. Mencium tangan adalah simbol penghormatan yang umumnya dilakukan oleh anak kepada orang tua, murid kepada guru, atau adik kepada kakak, pun halnya yang lebih tua secara usia kepada yang lebih muda.

Jika benar Rizal Marsaoly mencium tangan Sherly Tjoanda, tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip tata krama yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam budaya Moloku Kie Raha, ini justru menunjukan tidak ada wara. Sikap itu menggambarkan sesuatu yang tidak pantas dilakukan.

Dalam hal ini, tindakan Rizal Marsaoly mencerminkan pengabaian terhadap adab dan adat se atorang yang berlaku di Moloku Kie Raha. Seorang pria yang lebih tua tidak semestinya melakukan gestur tersebut kepada seseorang yang lebih muda, meskipun yang bersangkutan adalah gubernur.

Etika Pejabat: Profesionalisme di Atas Loyalitas Buta

Sebagai Sekretaris Kota, Rizal Marsaoly bukan sekadar individu, tetapi representasi pemerintahan. Seharusnya, ia memahami batasan antara penghormatan dan tindakan yang mencoreng nilai-nilai birokrasi. Dalam pemerintahan modern, penghormatan ditunjukkan dengan sikap profesional, bukan dengan tindakan yang berlebihan dan mencerminkan feodalisme.

Cium tangan dalam konteks birokrasi bisa ditafsirkan sebagai bentuk loyalitas yang berlebihan, bahkan mendekati sikap yes man yang tidak sehat dalam sistem pemerintahan. Apakah tindakan ini sekadar basa-basi birokrasi atau simbol kepatuhan berlebihan? Apakah itu bagian dari cari muka (carmuk) seorang pejabat di tingkat bawah kepada yang di atasnya?.

Publik berhak mempertanyakan apakah sikap ini mencerminkan integritas seorang pejabat atau justru mengesankan mentalitas feodal yang tidak relevan dalam era transparansi dan akuntabilitas.

Dampak terhadap Citra Pejabat Publik

Masyarakat Moloku Kie Raha menghormati pemimpin yang berwibawa, tegas, dan memiliki martabat. Mereka tidak menghormati pejabat yang tunduk berlebihan kepada jabatan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai adat. Pejabat yang tidak mampu menjaga batasan antara profesionalisme dan kepatuhan buta, hanya akan merusak citra birokrasi.

Seorang pemimpin dihormati bukan karena tindakan simbolis, tetapi karena dedikasi dan kerja nyatanya. Jika seorang pejabat ingin dihormati, maka ia harus memahami adat dan menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, bukan dengan tindakan yang justru memperlihatkan kelemahan karakter dan mentalitas feodal.

Kembali ke Adat, Kembali ke Etika

Video ini bukan sekadar peristiwa kecil, tetapi refleksi dari bagaimana seorang pejabat memahami perannya dalam masyarakat dan birokrasi. Adat dan etika birokrasi bukanlah hal yang bisa ditawar-tawar. Mencium tangan seseorang yang lebih muda dalam konteks ini bukanlah penghormatan, melainkan bentuk ketidakpahaman terhadap nilai-nilai budaya yang telah diwariskan turun-temurun di Moloku Kie Raha.

Pejabat publik memiliki tanggung jawab untuk menjaga wibawa dan profesionalisme. Jika mereka ingin tetap dihormati, mereka harus menjaga diri agar tidak terjebak dalam tindakan yang merusak nilai-nilai budaya serta mencerminkan sikap yang tidak profesional. Masyarakat tidak membutuhkan pejabat yang sibuk dengan simbolisme kosong, tetapi pejabat yang memahami adat, menjaga etika, dan bekerja dengan integritas.

Tara ada wara! Hormat harus sesuai tempatnya, jabatan bukan alasan untuk mengabaikan adat se atoran.

Wallahu A’lam. (*)