HALSEL, KAIDAH MALUT – Harita Nickel, melalui PT Halmahera Persada Lygend (HPL) menjadi perusahaan pionir di Indonesia, dalam memproduksi bahan baku utama baterai kendaraan listrik berupa Mixed Hydroxide Precipitate (MHP).
PT HPL yang mulai beroperasi pada pertengahan 2021 di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara ini, sudah memiliki kapasitas produksi mencapai 365 ribu WMT/per tahun. Dengan kapasitas produksi sebesar ini, Harita Nickel mampu memenuhi kebutuhan 1,5 juta baterai kendaraan listrik pada tahun 2022 dan lebih dari 3 juta kendaraan pada tahun 2040.
Head of External Relations Harita Nickel, Stevi Thomas menyatakan, PT HPL berhasil memproduksi MHP dengan memanfaatkan nikel limonit (kadar rendah), melalui teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL).
Sebelumnya, nikel limonit tidak dimanfaatkan karena kadarnya sangat rendah (<1,3 persen) dan tergolong jenis batuan penutup (overburden).
“Namun, jenis tersebut kini memiliki nilai strategis dan menjadi material yang banyak dicari produsen baterai kendaraan listrik dunia,” kata Stevi di sela-sela partisipasi Harita Nickel pada eksibisi dalam rangkaian acara Pertemuan ke-3 Deputi Lingkungan dan Kelompok Kerja Keberlanjutan Iklim, atau Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (3rd G20 EDM-CSWG) yang berlangsung di Bali pada tanggal 29 sampai dengan 31 Agustus 2022.
Stevi Thomas bilang, partisipasi Harita Nickel pada acara ini untuk mengenalkan keberhasilan Indonesia di mata dunia, sebagai produsen MHP sekaligus turut mendukung dalam penanggulangan perubahan iklim, yakni mendorong penurunan emisi dari penggunaan kendaraan bermotor bahan bakar fosil, demi mencapai netralitas karbon (Net Zero Emission) dan energi bersih di tahun 2060 atau lebih awal.
Menurut Stevi, disaat pemerintah bercita-cita menjadi pemain utama dunia dalam industri baterai kendaraan listrik, Harita Nickel tampil menjadi yang terdepan.
“Harita Nickel menjadi pionir di Indonesia tidak hanya dalam pengolahan dan pemurnian biji nikel kadar rendah, melalui teknologi HPAL, tapi juga membawa Indonesia satu langkah ke depan sebagai produsen bahan baku baterai kendaraan listrik yang diperhitungkan dunia,” ujarnya.
Selain upaya optimal dalam konservasi mineral nikel limonit, kehadiran teknologi HPAL juga mampu memberi manfaat lain dalam hal penyediaan ribuan tenaga kerja khususnya lokal di Pulau Obi, serta kontribusi ekonomi lainnya dalam bentuk pendapatan negara, pembangunan daerah di wilayah operasional, serta peningkatan dan perluasan jangkauan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.
Penerapan teknologi tersebut, lanjut Stevi, menjadi salah satu wujud komitmen perusahaan terhadap praktik operasional yang ramah lingkungan. Begitu juga komitmen terhadap keberlanjutan menjadi strategi perusahaan melalui 3 pilar utama, yakni perubahan iklim, hak asasi manusia, dan tata kelola.
“Selain menempatkan lebih dari 1.000 terumbu karang buatan di perairan sekitar wilayah operasional, Harita Nickel juga melakukan rehabilitasi lahan mangrove di Halmahera Selatan selama 2 tahun berturut-turut, di wilayah seluas 20 hektar dengan jumlah bibit tanam 47 ribu,” terangnya.
Program keberlanjutan lainnya adalah pemanfaatan limbah slag nickel dari hasil peleburan (smelter) nikel saprolit (kadar tinggi) dalam bentuk material bahan bangunan, seperti batako, paving blok, dan genteng.
Material ini telah dimanfaatkan untuk pembangunan fasilitas pabrik dan pendukung di internal, juga gedung salah satu bank BUMN di daerah. Pemanfaatan material tersebut telah mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (*)