TIDORE, KAIDAH MALUT – Praktisi hukum Iskandar Yois Sangadji akhirnya menyoroti dugaan kasus penganiayaan, yang terjadi di Kelurahan Dokiri, Kecamatan Tidore Selatan, Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Dugaan kasus penganiyaan tersebut, dialami korban Dahlan Arrahman yang dilakukan oleh tersangka Djainal Hadi, pada 17 Oktober 2023 lalu.
Kasus ini pun, sementara ditangani penyidik Reskrim Polresta Tidore Kepulauan. Hanya saja, dalam proses penyelidikan, keluarga korban merasa pihak kepolisian tebang pilih atas pasal yang dikenakan pada pelaku.
Saat penetapan tersangka, penyidik mengenakan Pasal 353 Ayat (1) KUHP atau 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan luka ringan.
“Dalam konteks ini menurut saya proses penyidikan harus fair. Semuanya harus diungkap seterang-terangnya. Proses penyidikan itu pedomannya KUHAP, dan tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mengungkapkan kebenaran materil,” ungkap Islandar, Selasa 07 November 2023.
Menurutnya, perbuatan yang disangkakan harus sesuai dengan kadar perbuatannya, yang nantinya akan diuji di pengadilan.
Dalam proses BAP, korban juga mengaku sempat mendapat ancaman jika tidak menandatangani hasil BAP, maka akan dilakukan BAP penolakan. Ancaman dari penyidik itu pula, lantas membuat pihak keluarga korban merasa takut dan akhirnya menandatangani BAP.
Padahal BAP yang ada, tidak sesuai dengan fakta yang dialami korban.
Iskandar menegaskan, dalam pelayanan kepada masyarakat, polisi juga harus memberi rasa kenyamanan, sehingga tidak ada indikasi paksaan atau ancaman.
Hal itu, berkaitan dengan tindakan Kasat Reskrim Iptu Redha Astrian yang arogansi dan tidak mencerminkan perbuatan yang tak terpuji, dengan memarahi keluarga korban.
“Kasat Reskrim Polresta Tikep tidak boleh marah-marah atau tersinggung. Jika ada keluarga korban yang menanyakan berkaitan dengan pasal yang disangkakan, kan tinggal menjawab apa yang ditanyakan. Itulah fungsi dari kepolisian yakni melayani masyarakat,” ujarnya.
“Apa lagi jika itu dilakukan oleh seorang penegak hukum, hal itu tidak dibenarkan,” sambungnya.
Prinsipnya, kata Iskandar, KUHAP melarang ada intimidasi kepada orang lain. Apalagi, sebelumnya, pihak RSUD Tidore Kepulauan telah menyatakan, bahwa luka yang dialami korban masuk kategori luka berat yang berpotensi kematian.
“Artinya dalam proses penyidikan mestinya seluruh keterangan, dengan saksi, bukti surat visum harus berkesinambungan,” terangnya.
“Apakah korban mendapatkan lima jahitan lebih, apa itu luka biasa?apalagi ini di bagian leher belakang dan berpotensi kematian. Justru luka ini sudah masuk luka berat, sebagaimana disebutkan dalam pasal 90 KUHP,” tandas Iskandar. (*)