TIKEP, KAIDAH MALUT – Samsudin Ali, pria berusia 56 tahun, tak bisa membayangkan betapa sulitnya memanen cengkeh dengan skala besar tanpa lahan jemuran yang luas. Samsudin merupakan warga Kelurahan Kalaodi, Tidore Kepulauan, Maluku Utara.

Ia harus mengangkut hasil panennya sembari menempuh jarak sekitar empat kilometer dari Kampung Kalaodi menuju kawasan pesisir timur Pulau Tidore.

“Itu termasuk pengalaman pahit yang saya rasakan bersama kebanyakan warga di sini kalau sudah tiba musim panen, sekitar tahun 2016 lalu,” tutur Samsudin, kepada Kaidah Malut, Jumat, 10 Maret 2023.

Memang hampir setiap rumah di Kalaodi memiliki kebun cengkeh. Setiap musim panen cengkeh, warga pasti jadikan jalan dan pekarangan rumah sebagai tempat menjemur.

Samsudin menyebut, sekitar 92 persen orang Kalaodi menggantung hidup dari rempah yang pernah menjadi primadona di masa lampau tersebut.

Kampung tertua di Pulau Tidore itu, tak bisa terpisahkan dari sejarah dan tradisi.

Samsudin Ali (baju hitam)

Kalaodi mempunyai empat dusun yang letaknya terpisah, yaitu dusun Gola, Fola, Gulili dan Suwom.

Warga setempat menyebutnya kampung satu sampai empat. Uniknya, perkampung di Kalaodi bertengger di lereng-lereng gunung Pulau Tidore.

Pemandangan Kelurahan Kalaodi banyak pegunungan dan pohon cengkeh juga pala.

Kendati pernah menghadapi musim panen dengan skala besar, menurut Samsudin, pada lima dekade terakhir pohon cengkeh di Kalaodi tak lagi membuahkan hasil.

Di tengah krisis panen tersebut, kata Samsudin, warga kemudian memanfaatkan tanaman bulanan untuk menghidupi kebutuhan mereka sehari-hari.

“Sudah lima tahun terakhir cengkeh tak lagi panen. Warga hanya berharap pada tanaman bulanan seperti pala. Tapi pala juga panennya tak sama lagi kayak dulu,” ujar Samsudin yang adalah Sekretaris Lurah Kalaodi.

Sebagian penduduk Kalaodi berprofesi sebagai ASN, namun kehidupan mereka tidak lepas dari bertani.

“Sudah dari turun-temurun orang Kalaodi bisa berpendidikan dan makan minum dari hasil rempah-rempah ini,” kata Samsudin.

Julukan kampung ini adalah ‘Negeri di Atas Awan’. Pasalnya Kalaodi sangat lekat dengan alam.

Tak hanya soal komoditas rempah saja, bagi Samsudin, Kalaodi juga menyimpan banyak kekayaan tradisi yang sudah berlangsung cukup lama dan masih lestari hingga saat ini.

Tempat pengeringan rempah-rempah

Samsudin menuturkan, orang Kalaodi punya cara menggambarkan rasa syukur mereka terhadap hasil panen yang mereka peroleh. Namanya tradisi ‘hoimasou’ yang berarti merupakan bentuk syukur.

Hoimasou yakni menyisihkan sebagian hasil panen, untuk diserahkan ke rumah adat. Lalu menyerahkannya ke tempat-tempat ibadah.

“Hasil panennya diantar ke masjid, kemudian biasanya petugas masjid mendoakan sebagai wujud syukur,” ceritanya.

Ia meyakini bahwa tradisi itu tetap lestari hinga sekarang. Selain ‘hoimasou’, masih banyak lagi ritual yang bertalian dengan masa panen di Kalaodi.

Rumah Pengering Rempah di Pegunungan Tidore

Pandangan Hamza Falila sesekali mengarah ke rumah pengeringan rempah yang tegak di hadapannya.

Siang itu, Hamza sedang meratakan biji buah pala.

Bangunan untuk menjemurkan biji buah pala itu berukuran setengah lapangan futsal.

Ia juga lantas memindahkan beberapa potongan kayu manis yang berserakan, lalu meratakannya.

Rumah pengeringan ini berada di Dusun Dola, tepatnya di pekarangan rumah milik Sudarwin. Bangunan yang atapnya terbuat dari plastik ini hadir sejak Desember 2022.

Bagi Hamza, rumah pengeringan tersebut cukup membantu dan punya banyak manfaat terutama saat cuaca tak lagi bersahabat.

“Kalau hujan, torang tara sibuk lagi angkat kasih masuk ke dalam rumah. Terus manfaatnya juga karena lahan jemuran di sini terbatas, jadi dengan rumah pengering ini torang bisa hemat tempat jemuran,” ujarnya.

Ia lantas membandingkannya dengan kondisi petani Kalaodi ketika memanfaatkan jalanan dan pekarangan rumah sebagai lahan jemuran.

Dengan menjemur rempah di dalam ruangan ini, tidak akan mengubah kualitas rempahnya.

“Kalau jemur cengkeh di aspal pas cuaca normal, itu tiga hari bisa kering. Tapi, kalau di rumah pengering ini, paling cuma dua hari saja. Secara kualitas pun beda,” terang Hamza.

Meski kehadiran rumah pengering ini belum lama dan tidak bertepatan dengan panen cengkeh, Hamza mengaku keberapa kali sudah melakukan uji coba.

“Saya yakin rumah pegering ini memiliki manfaat di masa mendatang ketika musim panen tiba. Ini adalah solusi bagi warga Kalaodi di tengah keterbatasan lahan jemuran,” cetusnya.

Rumah pengeringan tersebut digagas oleh Pemerintah Kelurahan Kalaodi, Pemuda dari Komunitas Folila, dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara pada akhir Desember 2022.

Tujuannya untuk menjawab permasalahan pertanian bagi warga Kalaodi.

Direktur WALHI Malut Faizal Ratuela saat dikonfirmasi Kaidah Malut menyebut, rumah pengeringan itu untuk menjawab masalah sektor pertanian di Kalaodi.

“Kita menggagas rumah pengeringan itu bersama teman-teman komunitas Folila di Kalaodi dan pemerintah Kelurahan Kalaodi,” kata Faizal, Selasa, 14 Maret 2023.

Faizal menjelaskan bahwa, Kampung Kalaodi memang merupakan wilayah kelola rakyat yang masuk dalam program WALHI.

Khusus untuk rumah pengeringan, menurut dia, hal itu diinisiasi lantaran petani sering berhadapan dengan ketidakpastian cuaca yang cenderung hujan saat musim panen tiba.

Rumah pengeringan rempah-rempah

Gagasan membuat rumah pengering pun lahir dari diskusi bersama warga dan pemerintah kelurahan di Kalaodi.

“Selain komoditas rempah pala dan cengkeh, rumah pengeringan juga bisa digunakan untuk menjemur komoditas lainnya seperti kopra putih,” jelas Faizal.

“Ini yang akan didorong di lokasi pendampingan WALHI lainnya seperti di Gane dan daerah basis dampingan WALHI lainnya di Maluku Uatara,” tambahnya.

Ia bilang, fasilitas rumah pengeringan ini terintegrasi dengan pembuatan minyak atsiri yang dilatih khusus kepada warga Kalaodi.

Bagi Faizal, pembuatan minyak atsiri didorong untuk menjawab krisis panen yang sering dihadapi warga.

“Kita juga mendorong pelatihan minyak atsiri karena hampir lima tahun terakhir ini panen cengkeh tak lagi stabil.”

Padahal, kata dia, manfaat dari cengkeh bukan saja buahnya, tapi daun cengkeh juga bisa dijadikan bahan dasar pembuatan minyak atsiri.

Menurut Faizal, kehadiran rumah pengeringan ini merupakan dukungan dari program Dana Nusantara yang dilaksanakan oleh WALHI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA).

“Di mana program Dana Nusantara ini bertujuan mengembalikkan praktik baik yang telah ada secara turun temurun oleh masyarakat lokal, dalam hal pengelolaan alam secara lestari dan berkelanjutan,” pungkasnya.

WALHI melihat pembuatan rumah pengeringan sangat menjawab masalah petani Kalaodi, karena itu pemerintah seharusnya melihat ini sebagai jawaban untuk dibuat di kampung-kampung lain. (*)