TERNATE, KAIDAH MALUT – Sejumlah fraksi DPRD Kota Ternate, Maluku Utara mempertanyakan rencana Pemerintah Kota Ternate yang akan membangun RSUD Ternate. Rencana tersebut bernilai investasi sebesar Rp1,6 triliun yang dinilai bakal membebani APBD.

Banjir masukan hingga penolakan DPRD disampaikan dalam rapat paripurna penyampaian pemandangan umum fraksi terhadap ranperda kerja sama pemerintah daerah, dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur pelayanan kesehatan, Senin, 10 Juli 2023 kemarin.

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dalam pandangannya menyatakan, pidato Wali Kota M Tauhid Soleman terkait ranperda kerja sama dengan badan usaha pada 3 Juli 2023 lalu tidak menggambarkan substansi batang tubuh ranperda. Pidato Wali Kota tersebut lebih menggambarkan isi dari sebuah perjanjian kerja sama yang akan dilaksanakan.

Di dalam substansi ranperda tidak mencantumkan nilai investasi, tidak juga mencantumkan masa pembangunan, tidak juga mencantumkan masa penjaminan infrastruktur selama 10 tahun, sebagaimana pidato Wali Kota. Menurut Fraksi PPP, isi pidato Wali Kota tidak mencerminkan substansi ranperda yang disampaikan, tetapi lebih mencerminkan substansi sebuah kesepakatan atau perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga.

Baca halaman selanjutnya…

“Fraksi Partai Persatuan Pembangunan sangat mendukung diajukannnya ranperda ini sebagai dasar kerja sama. Fraksi PPP juga sangat sependapat dengan rencana Wali Kota mendirikan RSUD Ternate. Namun terkait dengan skema pembiayaan, pemkot harus mempertimbangkan dengan sungguh–sungguh, rasional dan objektif,” tutur Ketua Fraksi Fahri Bachdar.

Nilai investasi proyek pembangunan RSUD sebesar Rp1.697.506.000.000 dengan kewajiban pemkot mengembalikan investasi tersebut, sebesar Rp169.750.000.000 setiap tahun selama 10 tahun. Olehnya itu, Fraksi PPP menilai hal tersebut justru tidak rasional dan tidak sesuai dengan kemampuan keuangan Pemkot Ternate.

“Sebagai perbandingan atau ilustrasi, belanja di dalam APBD Kota Ternate tahun anggaran 2022 ditargetkan sebesar Rp1.024.545.601.039,00, namun realisasi belanja hanya sebesar Rp944.244.475.383,44 atau 92,16 persen. Di dalam belanja tersebut, terdapat belanja modal yang ditargetkan sebesar Rp189.491.045.303,00 namun realisasi hanya sebesar Rp171.446.515.540,32 atau 90,48 persen. Apabila jumlah belanja modal ini dikonversi ke pengembalian investasi sebesar Rp169.750.000.000 setiap tahun, maka sisa belanja modal yang ada sebesar Rp1.696.515.540,32. Ini tidak akan mungkin melayani belanja modal program dan kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Karena belanja modal tidak akan mungkin dianggarkan sebesar Rp 1.696.515.540,32 maka akan terjadi pergeseran anggaran dari belanja operasi ke belanja modal dan ini jelas, akan sangat-sangat mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan Kota Ternate karena dipastikan banyak program dan kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan,” papar Fahri.

“Belum lagi berapa besar tambahan anggaran yang diploting dalam APBD untuk operasional dan pemeliharaan RSUD dengan anggaran sebesar itu,” sambungnya.

Baca halaman selanjutnya…

Fraksi PPP juga menyentil aspek strategi sumber pendapatan dari potensi pasar RSUD yang menjadi potensi pengembalian investasi selama 10 tahun seperti digambarkan Wali Kota dalam pidatonya antara lain:

  1. Pasien peserta BPJS dalam area cakupan Kota Ternate
  2. Pasien swasta dari Pulau Ternate dan pasien area dari daerah terdekat dalam cakupan Kota Ternate
    Karyawan dan keluarga perusahaan, dengan pembayaran jaminan perusahaan, serta pasien dengan jaminan asuransi swasta di Provinsi Maluku Utara
  3. Pasien penyakit katastrofik yang dilayani pusat unggulan di Provinsi Maluku Utara.
    Menurut Fraksi PPP, potensi yang digambarkan tersebut tidak dapat dijadikan ukuran karena rumah sakit di Kota Ternate bukan hanya RSUD Ternate, tetapi ada beberapa rumah sakit yang sekarang sudah beroperasi termasuk RSUD Chasan Boesoirie milik Pemprov Malut.

“Dengan adanya permasalahan yang dihadapi oleh RSUD Chasan Boesoirie yang saat ini belum juga tuntas, ini menjadi ikhtiar buat kita semua,” ujar Fahri.

Fraksi PPP yakin, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi tidak akan serta merta menyetujui investasi pembangunan RSUD Kota Ternate sebesar ini, mengingat kemampuan keuangan pemerintah daerah Kota Ternate yang terbatas. Apalagi masa jabatan Wali Kota tinggal kurang lebih 1 tahun lagi.

“Oleh karena itu Pemerintah Kota Ternate perlu mencari skema pembiayaan yang rasional, objektif sesuai dengan kemampuan fiskal atau kemampuan keuangan pemerintah daerah Kota Ternate,” tandas Fahri.

Sementara Fraksi Partai Demokrat lewat Ketua Fraksi Junaidi Bahruddin menyatakan, ranperda ini merupakan ranperda yang sudah pernah diajukan sebelumnya oleh Pemkot Kota Ternate pada masa sidang tahun 2022.

Baca halaman selanjutnya…

Di mana kata dia, pembahasan oleh DPRD dilakukan melalui Pansus DPRD yang di tahap akhir pembicaraannya memberikan rekomendasi, agar ranperda ini dikembalikan kepada Pemkot Ternate untuk dilakukan penyempurnaan terhadap sistematika dan susunan, serta muatan materi ranperda yang lebih substantif dan mengakomodasi berbagai ketentuan dan norma yang mengatur tentang tata cara, atau mekanisme kerja sama dalam penyediaan layanan dimaksud.

“Kota Ternate saat ini sudah tersedia berbagai layanan fasililitas kesehatan yang tersebar merata di setiap kecamatan, baik itu rumah sakit maupun puskesmas. Meskipun demikian, harapan masyarakat akan adanya layanan kesehatan yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau belum sepenuhnya bisa terpenuhi. Sejalan dengan hal ini, perencanaan pembangunan bidang kesehatan dalam dokumen RPJPD dan RPJMD Kota Ternate, serta Renstra Dinas Kesehatan menempatkan salah satu program strategis adalah adanya penyediaan layanan kesehatan berupa rumah sakit daerah yang representatif dengan kualitas layanan yang berkualitas. Pertanyaannya adalah, apakah dengan hadirnya Rumah Sakit Daerah Kota Ternate yang akan dibangun ini dapat menjawab problem pelayanan kesehatan yang selama ini dikeluhkan oleh masyarakat? Apakah dalam pengoperasiannya nanti mampu mengakomodasi keberadaan warga Kota Ternate yang kurang mampu dari aspek biaya kesehatannya? Bagaimana pola kerja samanya dengan BPJS kesehatan?” papar Junaidi.

Baca halaman selanjutnya…

Dalam rumusan muatan materi ranperda Bab VIII Pasal 27, imbuhnya, dijelaskan bahwa pengembalian investasi BUP dalam KPDBU Infrastruktur layanan kesehatan bersumber dari pembayaran ketersediaan layanan (Availability Payment). Skema Availability Payment (AP) biasanya digunakan dalam hal tidak ada pendapatan dari pengguna layanan/tidak ada pengguna akhir yang dapat dikenakan tarif, misalnya penyediaan infrastruktur yang digunakan oleh pemerintah untuk memberikan layanan publik, atau potensi pendapatan tidak signifikan untuk menutup investasi badan usaha/proyek tidak layak secara finansial, atau infrastruktur disediakan secara gratis kepada masyarakat.

“Dengan memilih skema AP, maka mekanisme pembayaran atau pengembalian investasi tidak bersumber dari pengguna layanan dalam hal ini warga Kota Ternate dan sekitarnya yang mendapat pelayanan dari rumah sakit. Atau pun dalam hal proyek KPDBU ini mendapatkan pemasukan dari pembayaran layanan, maka PJPK dalam hal ini Wali Kota tidak dapat memperhitungkan pemasukan tersebut sebagai pembayaran AP terhadap BUP. Ini artinya bahwa mekanisme pengembalian investasi sepenuhnya bersumber dari alokasi anggaran yang tersedia dalam APBD Kota Ternate. Secara politik, hal ini membutuhkan adanya kesepakatan bersama antara Wali Kota dengan DPRD untuk memastikan adanya alokasi anggaran dalam APBD di setiap tahunnya selama masa pengembalian nilai investasi. Pertanyaannya adalah, apakah APBD Kota Ternate mampu memenuhi nilai Investasi yang harus disiapkan selama masa perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 ranperda ini, bahwa PJPK melaksanakan kewajiban pembayaran regres berdasarkan prosedur dan mekanisme yang disepakati dalam perjanjian regres,” paparnya.

“Sehingga Fraksi Demokrat juga perlu meminta penjelasan kepada Pemerintah Kota Ternate terkait mekanisme pengelolaan risiko atas proyek KPDBU ini, karena selama rencana kerja sama proyek KPDBU layanan infrastruktur kesehatan ini berjalan kurang lebih sudah hampir 2 tahun ini, DPRD belum mendapatkan penjelasan konkrit dari Wali Kota tentang bagaimana mekanisme pengembalian dengan model AP, serta bagaimana kesiapan Wali Kota atas pengelolaan risiko fiskal yang bisa saja terjadi ke depannya. Apakah Wali Kota sudah memperhitungkan adanya risiko infrastruktur dan menyiapkan mitigasinya? Bagaimana melakukan realokasi anggaran dalam APBD dalam hal terjadi persitiwa atau kejadian yang menyebabkan APBD Kota Ternate tidak mampu mengalokasikan anggaran untuk memenuhi kewajiban PJPK terhadap BUP?” sambung Junaidi.

Baca halaman selanjutnya…

DPRD Kota Ternate, kata dia, perlu menyampaikan hal ini mengingat DPRD punya pengalaman terkait proyek Multi Years sebelumnya yang dilakukan oleh Wali Kota periode sebelumnya, di mana nilai pembayaran kepada pihak ketiga dalam proyek Multi years, meskipun sudah dituangkan dalam Nota Kesepakatan antara Wali Kota dengan DPRD, tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah Kota Ternate dan dilakukan penyesuaian dalam APBD tahun-tahun berikutnya.

“DPRD perlu mengikhtiarkan, kalaupun proyek KPDBU ini dilaksanakan sebagai salah satu proyek prestisius daerah, maka keterlambatan atau ketidakmampuan daerah untuk menunaikan kewajibannya kepada pihak BUD ini tidak boleh terjadi, karena akan menurunkan kredibilitas dan marwah Pemerintah dan DPRD Kota Ternate,” tegasnya.

FPD menekankan, Wali Kota perlu memastikan dan menjamin adanya pemahaman yang utuh dan komitmen kuat dari para pemangku kepentingan khususnya kepala OPD, apakah OPD juga bersedia urung rembug memikirkan solusi atas permasalahan risiko infrastruktur dan risiko fiskal yang terjadi di tahun-tahun mendatang atas proyek KPBDU ini.

“Jangan-jangan kepala OPD tidak bersedia jika alokasi anggaran OPD-nya dikurangi oleh TAPD untuk mencukupi beban APBD atas kewajiban PJPK terhadap BUD,” ujarnya.

Sementara Fraksi PDI-P dalam pandangannya menyatakan ranperda ini sudah pernah diajukan pemkot pada tahun 2022 dan telah dibahas DPRD, namun dikembalikan dengan alasan masih harus dikaji dan disempurnakan sesuai hasil pembahasan pansus.

“Untuk itu, fraksi kami berharap apa yang menjadi catatan dan rekomandasi pansus sebelumnya telah ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kota Ternate dengan melakukan perubahan-perubahan drafting. Selanjutnya fraksi kami menyerahkan penuh kepada alat kelengkapan yang ditunjuk untuk membahas ranperda ini,” kata Ketua Fraksi Nurain Talib.

Fraksi PDI-Perjuangan, sambungnya, akan terus mengawal dan memastikan ranperda ini tidak merugikan Pemerintah Kota Ternate ke depannya.

“Karena berdasarkan pemaparan saudara Wali Kota Ternate dalam paripurna sebelumnya, investasi terhadap kerja sama ini sebesar Rp 1,6 triliun, dengan pengembalian sebesar Rp 169,75 miliar per tahun selama 10 tahun, dan akan dibayarkan setelah selesai pembangunan dan dimulainya operasional RSUD. Ini menjadi catatan penting fraksi kami untuk perlu ada kajian-kajian mendalam dari alat kelengkapan yang ditugaskan untuk membahas ranperda ini, serta kami menyarankan agar dapat berkonsultasi dengan kementerian/lembaga terkait yang berhubungan dengan kerja sama ini,” pungkas Nurain.

Baca halaman selanjutnya…

Senada, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa menyatakan layanan kesehatan merupakan bagian dari pelayanan dasar yang diperlukan dalam rangka ketersediaan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau serta tercukupinya kebutuhan kesehatan. Untuk meningkatkan layanan Kesehatan di Kota Ternate, Fraksi PKB sepakat dimanfaatkannya keahlian dan pembiayaan dari badan usaha melalui skema kerja sama pemerintah daerah dengan badan usaha sehingga infrastruktur layanan kesehatan dapat memberi manfaat secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat sebagaimana isyarat Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 96 Tahun 2016 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan dalam Rangka Kerja Sama Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur di Daerah.

“Hal lain juga dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan serta kesejahteraan masyarakat terkait dengan kerja sama pemerintah daerah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur layanan kesehatan di Kota Ternate,” ujar Ketua Fraksi Mochtar Bian.

Meski demikian, Fraksi PKB menekankan ranperda yang diusulkan hanya sebagai dasar hukum untuk melakukan kerja sama di bidang Kesehatan, tidak secara otomatis Pemerintah Kota Ternate melakukan kerja sama dengan PT Wijaya Karya yang nilai investasinya mencapai Rp 1,6 triliun. Pemkot, kata Mochtar, harus terbuka, memberikan kesempatan kerja sama dengan badan usaha lainnya dalam penyediaan infrastruktur layanan kesehatan.

“Fraksi PKB mengingatkan Pemerintah Kota Ternate, bahwa nilai investasi yang diusulkan sangatlah besar, ini akan menganggu keuangan daerah untuk jangka panjang. Dengan mempertimbangkan akhir masa jabatan Wali Kota kurang lebih 1 tahun, maka Fraksi PKB mengikhtiarkan kepada Pemerintah Kota Ternate untuk menghitung secara baik investasi ini,” tegasnya.

Baca halaman selanjutnya…

Fraksi PKB juga meminta penjelasan Pemerintah Kota Ternate, apakah ranperda yang diajukan merupakan dasar dari investasi PT Wika sebesar Rp 1,6 triliun.

“Jika ranperda ini menjadi dasar, maka Fraksi PKB bersikap untuk menolak ranperda ini,” tandas Mochtar.

Fraksi Partai Golkar dalam pandangan umumnya mengatakan fraksi sepakat kerja sama tersebut dirumuskan dalam bentuk regulasi daerah untuk mengatur aspek-aspek KPBU infrastruktur layanan kesehatan, termasuk dukungan-dukungan pemerintah daerah dan penganggaran pembayaran ketersediaan layanan untuk keberlangsungan kerja sama dan penyelenggaraan layanan kesehatan tersebut.

“Namun yang menjadi catatan penting fraksi kami adalah pembahasan ranperda wajib melibatkan Badan Anggaran DPRD dan TAPD untuk dapat mengkaji kemampuan keuangan daerah dalam melakukan pembiayaan terhadap infrastruktur layanan kesehatan yang akan dikerjasamakan. Selanjutnya terhadap muatan-muatan batang tubuh ranperda perlu ada kajian secara mendalam sebab substansi dari pasal-pasal tersebut masih belum mencerminkan norma dari suatu produk hukum yang ideal yang mencermikan adanya kepastian hukum dan pemanfaatan hukum,” tukas Ketua Fraksi Anas U Malik. (*)