TERNATE, KAIDAH MALUT – Koalisi Keselamatan Rakyat Maluku Utara (KKR-MU) meminta Presiden Joko Widodo mencabut Perpu Cipta.
Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 terdapat sejumlah pasal bermasalah, yang termaktub dalam Undang-undang tersebut.
KKR-MU juga menilai ada keberpihakan korporasi perusak alam yang mengabaikan rakyat serta lingkungan hidup.
“Misalnya pada pasal 67 yang ayat (1); Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup,” kata Manager Advokasi Walhi Malut, Julfikar Sangaji, Rabu, 01 Maret 2023.
Di Ayat (2); Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dalam Perppu, Undang-undang Perkebunan itu ada ayat 3 dan 4, sudah dihapus.
Ketika pasal itu dihapus, maka dapat ditafsirkan ada upaya untuk melonggarkan pengusaha perkebunan.
Kemudian membuat dan menerapkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), sebagai bagian dari syarat izin berusaha.
Bagi usaha perkebunan, wajib Amdal dihilangkan. Padahal Amdal menjadi istrumen vital dalam satu kegiatan usaha yang dapat menimbulkan dampak ekologi.
“Apalagi dengan geografis Maluku Utara yang tutupan hutan sangat tipis,” jelas dia.
Alhasil itu bisa memungkinkan sangat beresiko terhadap Perkebunan Monokultur, yang melahap ribuan lahan dalam satu hamparan.
Selanjutnya pada Pasal 26A terdapat penghapusan syarat-syarat penanaman modal asing, untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan.
Sebagaimana, padahal sebelumnya ada Pasal 26A ayat (2) – (5) dalam UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan yang memiliki 805 pulau. Sementara ada 82 pulau yang dihuni, sedangkan 723 pulau tidak berpenghuni.
“Jadinya pasal yang dihapus juga beresiko terhadap eksploitasi pulau-pulau kita,” ujar dia.
Kemudian tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional pada Pasal 173 yang gamlang menunjukkan kalau negara begitu mengistimewakan korporasi berjubah PSN, termasuk soal kepastian pengadaan tanah menjadi pekerjaan pemerintah.
“Kita tahu kalau Maluku Utara saat ini ada tiga proyek strategis nasional, yang ketika mereka mengahdapi masalah tanah sudah pasti negara pasang badan, dan sudah pasti rakyat adalah korban.” cetusnya.
Selain itu, ada pula Pasal 156 yang mengatur tentang pesangon masih dipertahankan di Perppu Cipta Kerja.
Ini artinya penghitungan pesangon tetap mengacu pada aturan turunan UU Cipta Kerja yakni Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Sementara itu Ketua AJI Ternate, Ikram Salim menbahkan, dalam beberapa kasus PHK, PP ini merugikan pekerja media karena jauh lebih buruk dibandingkan UU Ketenagakerjaan.
Karena dalam Pasal 163 dan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan dalam Perppu Cipta Kerja dihapus, sama dengan UU Cipta Kerja.
Kedua pasal ini mengatur tentang hak buruh atas uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2). Hal ini tentu merugikan pekerja media yang di-PHK karena mengurangi besaran pesangon yang semestinya didapatkan.
AJI juga menyoroti revisi Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dalam UU Cipta Kerja yang kemudian dipindahkan ke Perppu Cipta Kerja. Salah satunya tentang ketentuan yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran.
Perppu Cipta Kerja membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional, sesuatu yang dianggap melanggar oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Sebab, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh.
“Perppu Cipta Kerja juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perijinan penyiaran, dihilangkan.
Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran, yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun,” ucap dia.
“Sedangkan radio dan larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain,” tukasnya.
Sekedar diketahui WALHI Malut, PILAS, Dati, BEM UNKHAI, FOSHAL, AJI Ternate dan PKC PMII Malut terlibat dalam koalisi itu. (*)

Tinggalkan Balasan