Kritik filsafat terhadap fakta jurnalis

Oleh : Munzir Daeng Abdullah (Pegiat Filsafat)

Fakta adalah kebenaran yang tak berjenis kelamin (Kahlil Gibran)

Dalam kesetaraan gender, peran sosial tidak selamanya tunduk pada kultur patriarki. Perempuan boleh direkayasa untuk mengisi peran laki-laki begitu juga sebaliknya. Fenomena transgender menjadi contoh yang terkadang sulit untuk membedakan mana laki-laki dan perempuan. Tetapi yang membedakan kebenaran status genetiknya ada pada fakta biologis berupa jenis kelamin.

Pers secara mainstream banyak terjebak pada perumpamaan budaya transgender, tapi dalam memproduksi berita tanpa melihat jenis kebenaran berita atau jenis kelamin faktanya.

Pers bukanlah cerminan dari realitas. Dalam situasi tertentu, pers mampu merekayasa fakta yang membuat seorang tokoh agama pun terlihat seperti berandalan, dan seorang mafia bisa dipoles sehebat ulama dan itu tergantung kebutuhan reporting.

Berangkat dari kegelisahan itulah, seorang Bill Kovach menawarkan 9 langkah tentang verifikasi sebagai standar jurnalistik dalam mengungkap fakta.

Menulis berita adalah mengurai fakta yang didemonstrasikan melalui goresan pena. Tetapi fakta yang diangkat harus memenuhi standar dan kaidah kebenaran korespondensi.

Karl Popper dalam bukunya yang berjudul The Logis of Scientific Discovery, menawarkan scientifikasi sebuah pernyataan. Popper menjelaskan bahwa untuk menguji sebuah pernyataan atau kenyataan tidak boleh mengunakan metode induktif, yang kesimpulannya cenderung mengeneralisir seluruh kebenaran hanya dengan satu fakta empiris.
Bahwa untuk menemukan suatu kebenaran, sebuah pernyataan dan fakta empiris masih mungkin untuk di salahkan atau di falsifikasikan.

Falsifikasi Popper mengajarkan kita bahwa dalam menguji kebenaran dari suatu objek, maka subjek harus independen dan melepaskan diri dari objek tersebut. Misalnya dalam menguji kebenaran teologi, maka kita harus keluar dan terlepas dari teologi tersebut. Jika objek yang diteliti masih menyatu dengan subjek yang menjadi peneliti, maka dipastikan objektivitas dari kebenaran itu akan diragukan.

Pola verifikasi, korespondensi dan falsifikasi ini harus bekerja dalam ruang imajiner seorang penulis. Hal ini disebabkan karena, pekerjaan seorang jurnalis adalah mengungkap fakta yang penuh dengan resiko.

Bahkan nyawa seorang jurnalis bisa jadi taruhan dalam mengungkap sebuah kebenaran. Seperti, Agung Perbangsa yang ditemukan mati terapung di pantai Kuta, karena membongkar skandal korupsi Bupati Bangli. Ada juga Alfred Mirulewan yang ditemukan tewas terbunuh di Pulau Kisar, lantaran membongkar kasus penyelundupan BBM. Dan yang terbaru adalah kasus pembuhan Jamal Kashogi di Kantor Konsulat Arab Saudi tepatnta di Istanbul Turki, ia dibunuh lantaran kritikannya terhadap penguasa negeri minyak tersebut.

Pers memang mendapatkan rekognisi melalui Undang-undang kebebasan pers. Artinya kebebasan mengungkap fakta di bentengi oleh konstitusi. Tetapi kebebasan tersebut tidak semestinya menjadikan pers sapu jagad dalam menyampaikan berita.

Kebebasan pers merupakan derivasi dari kebebasan manusia sebagaimana diucapkan oleh Jean Paul Sartre dalam pandangan eksistensialismenya, Human is condemned to be free yang artinya setiap manusia di kutuk untuk bebas. Di kutuk karena kebebasan itu dianggap determinan yang bersifat imperatif.

Eksistensialisme Sartre memang sengaja dibangun untuk memprovokasi manusia, bahwa kebebasan itu tidak bersifat determinan apalagi imperatif. Oleh karenanya, tidak bisa di batasi dengan apapun. Bahwa manusia itu bebas melakukan sesuatu, tapi kebebasan itu harus bisa dipertanggung jawabkan karena dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Imanuel Kant dalam filsafat moralnya mengajarkan kepada kita tentang tiga hal. Pertama ketika mengucapkan sesuatu apakah itu benar, kedua, jika benar apakah itu perlu, dan ketiga jika perlu apakah itu baik. Karena sebuah pemberitaan bisa berimplikasi luas.

Voltaire misalnya menulis tentang kondisi Prancis di abad ke 17, lalu melahirkan revolusi Prancis. Ada juga Sariati yang menulis dan ceramah di kampus lalu melahirkan revolusi Iran.

Fenomena menjamurnya media online tidak dibarengi dengan habituasi membaca literasi dan khasanah pengetahuan dunia. Padahal pewarta tidak sekedar dituntut mewartakan berita aktual dan terkini. Tetapi lebih dari itu pewarta dituntut untuk melahirkan karya jurnalistik yang bernilai.

Ternate Post pernah melahirkan tokoh intelektual pers dalam diri Bang Herman Oesman, Bang Agus Salim Bujang, Kanda Murid Tonirio, Kanda Kasman Hi Ahmad, dan masih banyak lagi. Mereka tidak sekedar menulis berita, tetapi juga menulis artikel dan opini di Ternate Post, kemudian kumpulan tulisan itu dibukukan dengan judul Pemberontakan Kata-kata.

Hal inilah yang belum mampu dilakukan oleh pers kita di Halsel dalam upaya mewariskan karya nyata yang bermutu.

Akhirnya, pekerjaan jurnalis secara sederhana adalah pekerjaan filosofis, karena pakem filsafat adalah mendekonstruksi realitas universal untuk menemukan makna dan kebenaran yang terkandung dalam suatu objek secara holistik.

Jika tugas filsafat adalah memproduksi kebenaran, maka tugas jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Pers bekerja bukan untuk kepentingan Pemred, korporasi dan kelompok, tapi pers bertanggung jawab untuk menyampaikan fakta demi membela martabat manusia.*