Imanuel Kant dalam filsafat moralnya mengajarkan kepada kita tentang tiga hal. Pertama ketika mengucapkan sesuatu apakah itu benar, kedua, jika benar apakah itu perlu, dan ketiga jika perlu apakah itu baik. Karena sebuah pemberitaan bisa berimplikasi luas.
Voltaire misalnya menulis tentang kondisi Prancis di abad ke 17, lalu melahirkan revolusi Prancis. Ada juga Sariati yang menulis dan ceramah di kampus lalu melahirkan revolusi Iran.
Fenomena menjamurnya media online tidak dibarengi dengan habituasi membaca literasi dan khasanah pengetahuan dunia. Padahal pewarta tidak sekedar dituntut mewartakan berita aktual dan terkini. Tetapi lebih dari itu pewarta dituntut untuk melahirkan karya jurnalistik yang bernilai.
Ternate Post pernah melahirkan tokoh intelektual pers dalam diri Bang Herman Oesman, Bang Agus Salim Bujang, Kanda Murid Tonirio, Kanda Kasman Hi Ahmad, dan masih banyak lagi. Mereka tidak sekedar menulis berita, tetapi juga menulis artikel dan opini di Ternate Post, kemudian kumpulan tulisan itu dibukukan dengan judul Pemberontakan Kata-kata.
Hal inilah yang belum mampu dilakukan oleh pers kita di Halsel dalam upaya mewariskan karya nyata yang bermutu.
Akhirnya, pekerjaan jurnalis secara sederhana adalah pekerjaan filosofis, karena pakem filsafat adalah mendekonstruksi realitas universal untuk menemukan makna dan kebenaran yang terkandung dalam suatu objek secara holistik.
Jika tugas filsafat adalah memproduksi kebenaran, maka tugas jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Pers bekerja bukan untuk kepentingan Pemred, korporasi dan kelompok, tapi pers bertanggung jawab untuk menyampaikan fakta demi membela martabat manusia.*