Oleh: Wawan Ilyas
Pemuda Hiri dan Demisioner PUSMAT (2013-2015)
“Ini masalah harga diri saya sebagai kepala daerah,
bukan saja warga pulau Hiri. Sekali lagi saya sampaikan,
saya akan selesaikan proyek ini di tahun ini juga”
(Wali Kota Ternate, Dr. M Tauhid Soleman, 2023)
“Harga diri” tampil sebagai pesan utama kalimat moral yang ditransmisi, ke dalam bahasa politik pembangunan.
Disampaikan pada awal tahun ini tepatnya 01 Februari 2023, ketika demonstrasi Aliansi Masyarakat Pulau Hiri (AMPUH) menuntut hak pelabuhan penyeberangan Sulamadaha-Hiri.
Momen tuntutan warga itu menghasilkan untuk kedua kalinya Memorandum of Understanding (MoU) dengan pemerintah daerah, setelah sebelumnya pada 26 Agustus 2020. Mungkin, baru terjadi pertama kali di Indonesia, bahwa pembangunan pelabuhan di daerah butuh dua kali MoU bersama pemerintah, dan satu kali bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, penjabat Wali Kota Ternate mempertaruhkan harga dirinya sebagai kepala daerah.
Ibarat ingin memperteguh posisi politik bahwa rezim “Andalan” berakronim “TULUS” akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Tetapi, betulkah itu terjadi dalam perjalanan kepemimpinan? Betulkah pemerintah membangun secara tulus? Saya akan telusuri apakah tata kelola birokrasi di daerah ini mencerminkan amanah kejujuran, ketulusan, dan keterbukaan? Apakah moralitas muncul dalam ruang publik dan ketepatan mengarahkan sasaran kebijakan secara kontekstual? Mari kita periksa.
Data dan Sikap Eksklusif.
Melalui kasus pelabuhan Hiri, dapat dipahami Kota Ternate kehilangan ruang komunikasi yang “cair”, dalam wujud keelokan berbahasa publik pejabat daerah kepada warga.
Kamuflase politik tumbuh melibatkan pihak eksekutif maupun legislatif. Semacam ambisi dan kehendak kuasa, yang dilepaskan secara egois dan terbuka, namun tanpa indikator konseptual dan perangkat operasional secara terstruktur dan rasional.
Di kubu pemerintah, meskipun melibatkan sejumlah akademisi, namun perencana tidak punya kepekaan lapangan untuk mendesain fasilitas pelabuhan, terutama tata letak dan konstruksi pemecah ombak (breakwater).
Menurut kajian kawan-kawan AMPUH, akademisi mendesain sesuai permintaan pemerintah, bukan berdasarkan kondisi dan kebutuhan di lapangan. Pemerintah pernah membangun rasionalisasi untuk meminimalisir anggaran dengan “metode rekayasa”. Agak kacau, ketika diketahui, metode rekayasa menempatkan pintu masuk pelabuhan tepat di arah datangnya ombak.
Logika perencanaan salah kaprah, karena mengancam keselamatan penumpang dan motoris. Tujuan dibangun breakwater itu memecah, menghalangi, atau memperkecil tekanan ombak. Lalu kenapa desain pintu masuk tepat di arah amukan ombak? Seolah-olah, metode rekayasa adalah kebenaran ilmiah, meskipun tanpa didukung data-data empirik.
Berangkat dari bukti itulah AMPUH mengkritik keras, dan menyarankan supaya kembali ke perencaan awal menggunakan data-data langsung dari warga.
Orang boleh saja menganggap itu biasa saja dengan mengatakan “ce.. skarang itu dong so bikin itu kong”. Namun begitu dilihat dari sudut governmentality ala Michel Foucault, pemerintah sudah memperlihatkan citra buruk dari aspek perencanaan dan implementasi, lalu mewacanakan semua itu sebagai solusi.
Ada egoisme yang tersumbat dalam tubuh kekuasaan kota. Bukan lagi mengakomodasi pertarungan ide dan gagasan pembangunan, namun memperdalam pertarungan “dendam politik” antar rezim kekuasaan lewat wacana (discourse) semata.
Satu fakta pemandangan lainnya bahwa pemerintah lemah dalam political will. Kelemahan ini secara instrumental terbaca dari tidak terkonsolidirnya tupoksi Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kota Ternate.
Secara mendasar, partisipatif warga memberikan data-data perencanaan akhirnya sia-sia belaka karena tak dijadikan patokan politik anggaran. Politik pengakuan pemerintah jadi kabur membaca partisipasi warga sebagai fondasi pembangunan.
Namun anehnya, instansi vertikal kejaksaan dan kepolisian dikucur anggaran masing-masing Rp9 miliar dan Rp6 miliar dalam postur anggaran 2023 (laman lpse.ternatekota, 2023).
Untuk melihat suatu komitmen dan keikhlasan pemimpin, tidak boleh semata indikator dari mulut, tapi realisasi kebijakannya seperti apa. Harus dibuktikan lewat perencanaan yang matang serta alokasi anggaran yang tepat sasaran dan kebutuhan.
Sementara di kubu legislatif, kita tidak temukan kerja keras legislasi, bagjeting dan pengawasan sebagai tidak fungsi pokok politik di perlemen. Polarisasi kekuasaan sudah sampai puncak sandiwara, begitu ketua parlemen menyebut mereka bingung jika pemerintah alokasikan anggaran sebanyak Rp9 miliar, untuk kejaksaan (poskomalut.com, 2023).
Jika demikian, disaat pembahasan anggaran induk 2023 hingga pengesahan, yang kewenangannya ada di lembaga legislatif, para legislator kerjanya apa? Saya sebut ini bentuk kejahatan sistemik dalam institusi politik dan pemerintahan, jika tidak disebut kelalaian fatal.
Dalam teori Trias Politika Montesquieu, statemen ketua parlemen menunjukkan memudarnya otonomi dan kewenangan politik legislatif, sekaligus pelucutan hak warga karena kebutuhan dasar tidak dikawal. Lebih perhatikan instansi vertikal sama maksudnya pemerintah mengutamakan kepentingan sesama elit, bukan warga negara.
Saya tak bisa percaya model pemerintahan dan legislatif semacam ini bisa mengantarkan Kota Ternate menuju gerbang perubahan yang inklusif, egaliter, dan berkeadilan.
Semakin jelas ketidakberpihakan ketika surat permohonan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilayangkan AMPUH, sejak akhir Agustus tidak ditindaklanjuti hingga paripurna pengesahan APBD-P 2023.
Padahal, surat itu bertujuan agar pemerintah, legislatif dan masyarakat duduk bersama menukarkan gagasan sejauh mana perencanaan (master plan) dan politik penganggaran paripurna pengesahan.
Meminjam istilah Tania Murray Li (2012), AMPUH punya langkah the will to improve (kehendak untuk memperbaiki), dalam wujud adanya partisipasi warga dalam perencanaan dan kerja-kerja pengambilan keputusan secara bersama (kolektif-kolegial).
Menginginkan agar ada politik egaliter di ruang legislatif, termasuk transparansi birokratis. Sekarang, potret buram dua lembaga besar itu adalah ancaman politik yang berpengaruh bukan hanya pada konteks proyek pelabuhan Hiri, tetapi ikut mengancam keberlangsungan pembangunan di seluruh wilayah kota Ternate.
Bukankah kita pernah dikejutkan dengan adanya “proyek fiktif”. Ini perilaku menyimpang elit kota yang perlu diberikan hukuman moral dan sosial disamping hukuman politik elektoral.
Punggawa institusi negara secara nyata menodai adab “mahe se gulfino (malu dan takut)” mencederai nilai-nilai demokrasi. Sebagai contoh, per 27 Oktober 2023, master plan sebagai dokumen acuan dasar pembangunan pelabuhan, tak pernah dipublis sama sekali.
Bukankah itu dokumen negara yang bersifat publik? Adalah ukuran sederhana untuk menyebut pemerintah ekslusif, bukan inklusif. Termasuk hak warga untuk mengetahui kandungan barang publik berupa draf APBD dikekang.
Padahal dari dokumen itulah mereka memproteksi tugas-tugas keadilan. Dengan demikian, pejabat daerah telah melanggar aturan keterbukaan informasi publik, atau kalimat lain, kota ini ekslusif karena tak mementingkan data dan transparansi. Sampai kapan “kebusukan” mengelola pemerintahan dan lembaga legislatif berakhir di bumi Sultan Baabullah?
Sirkulasi Elit dalam Berbohong
Pembaca yang budiman, saya perlu melibatkan cerita hilangnya moralitas pejabat berkata jujur di ruang publik. Pada tahun 2022, pemerintah lalai mengerjakan lebih awal anggaran APBD Induk 2022 senilai Rp2,8 miliar untuk cetak tambah tetrapod. Dari pencacatan lapangan, ternyata pekerjaan dimulai pada pertengahan tahun.
Masalahnya, hasil investigasi jurnalis menemukan data jumlah hasil cetak tetrapod yang dikantongi pihak-pihak berwajib, justru berbeda angka satu sama lain, serta terdapat indikator jika pekerjaan lapangan tidak sesuai volume (Data Nurkholis Lamau, 2022).
Dalam kondisi itu, Kepala Bappelitbangda mencoba meyakinkan akan ada tambahan anggaran dalam APBD-P 2022 senilai Rp2,5 miliar, untuk finishing di akhir proyek (kumparan.com, 2022).
Faktanya, ketika pengesahan APBD-P 2022, tidak ditemukan alokasi anggaran yang dijanjikan Kepala Bappelitbangda banyak bicara tersebut (Halmaherapost.com, 2022).
Karena kekacauan itu, AMPUH melakukan aksi di awal tahun 2023. Terdapat tiga kali pertemuan setelah aksi 01 Februari 2023. Dua kali di Kantor Bappelitbangda, satu kali di DPRD pada bulan April. Terakhir di Bappelitbangda hari Jumat, disepakati kembali ke perencanaan awal.
Selain itu, tim ahli dari Unkhair harus menyelesaikan desain master plan dan kebutuhan semua Rencana Anggaran Biaya (RAB) pelabuhan bersama instansi teknis, dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Harapannya, setelah semua sudah selesai, tim TAPD menyurat ke DPRD untuk membicarakan dan memproteksi anggaran sesuai kebutuhan.
Mereka bicara manis, agar pekerjaan segera dilakukan supaya memungkinkan diterapkannya skema mendahului perubahan 2023.
Namun, semua itu pupus oleh janji tanpa langkah-langkah taktis. Pekerjaan ternyata dimulai pertengahan tahun 2023, ditambah pemerintah tidak menyurat ke DPRD, dan akhirnya “fael” (perbuatan) tahun lalu terulang lagi.
Pengesahan APBD-P 2023 tidak ditemukan alokasi anggaran untuk proyek pelabuhan Hiri (Halmaheranesia,com, 2023; malut.kaidah.id, 2023). Itu artinya, pemerintah kembali berbohong secara struktural di tahun ini.
Saya ingat betul, Kadis PUPR bicara bohong di ruang publik. Dalam berita tanggal 17 Agustus 2023 yang berisikan komentar tanggal 15 Agustus, Kadis mengatakan pekerjaan pelabuhan Hiri sudah dimulai sejak “minggu lalu”. Alat-alatnya sudah dimobilisasi masuk (cermat.co.id 2023). Ternyata itu kebohongan.
Faktanya, tanggal 17 Agustus AMPUH melaksanakan Upacara Hari Kemerdekaan dengan menaikkan bendera merah putih setengah tiang di lokasi proyek, tidak satu pun alat dan tanda-tanda pekerjaan saat itu.
Mirisnya, seorang legislator yang separtai dengan penjabat Wali Kota saat ini, mencoba mengalihkan wacana dengan komentar pekerjaan akan dimulai keesokannya (18 Agustus 2023).
Bahasa bohong berjubah komitmen pemerintah dan anggota legislatif ini, mencerminkan tidak adanya moralitas demokratis dalam komunikasi publik.
Dua komentar bohong itu adalah respon “panik” atas sepotong video viral berisikan warga Hiri menggendong orang sakit di atas bebatuan pelabuhan. Situasinya miris, warga tertatih-tatih melewati medan pelabuhan yang rusak. Orang sakit harus siap menerima konsekuensi “kecelakaan” di lapangan.
Bayangkan saja, pada situasi warga sedang sengsara seperti pada cuplikan video itu, dan para pejabat masih bisa berbohong untuk menutupi kebohongan lain. Sirkulasi elit untuk menutupi “wajah kusam” pemerintah sepertinya makin menggurita.
Sepotong video menampilkan di Universitas Khairun Ternate, Kepala Bappelitbangda Kota Ternate, memuji-muji Wali Kota dan menyebut tahun depan (2024) pemerintah akan mengalokasikan senilai Rp15 miliar untuk dermaga Hiri.
Tetapi di tempat lain setelah KNPI Kota Ternate mengadakan diskusi bedah APBD, beliau menyebut Rp10 miliar untuk dermaga Hiri. Sedangkan pada berita tertentu menyebut 13 Milyar (cermat.co.id, 2023).
Pertanyaanya, berapa sebenarnya volume anggaran keseluruhan yang tertuang dalam RAB proyek pelabuhan Hiri? Sangat simpang siur, akibat kealpaan pemerintah menyampaikan secara terbuka dan terukur. Ini tandanya perencanaan terkesan tidak jelas dan para elit ini, saling lempar tanggung jawab, maksud memproduksi kemunafikan, sembari ingin tetap berkuasa.
Mulut ringan pejabat tanpa rasa malu menjadi “penyakit” yang mematikan perkembangan menuju kota inklusif. Kota ini tersandra oleh kemunafikan elitis yang secara berulang-ulang tampil, mengisi platform kepentingan politik.
Orang Hiri dan segenap insan peduli pelabuhan, baik wartawan, praktisi, maupun kawan-kawan mahasiswa dari berbagai daerah dan organisasi.
Mereka adalah bagian integral warga Kota yang sadar akan semangat politik pembangunan, bahwa kekuasaan harus ditegur, dikritik secara kolektif. Sebab ini adalah hak kewargaan kita semua dan butuh kritik berbasis data, yang bersifat konstruktif.
Kalau pemerintahan menanggapi itu semua atas dasar “kepanikan”, karena kepentingan berkuasa (the will to power) “terganggu”, kondisi ini menampilkan kadar terendah dari kewajiban moral memenuhi janji, sebagai kepala daerah dan orang-orang diposisi strategis.
Pemerintah terlihat “serampangan” bicara dan panik memandu jalannya pembangunan daerah. Pada akhirnya, kesan destruktif yang dipertontonkan pemerintah dalam sirkulasi bahasa elit di ruang publik.
Meskipun mengorbankan kenikmatan warga merasakan keadilan, namun berbohong masih menjadi perisai utama menjaga elektabilitas politik.
Harga Diri yang Tergadai.
Bahwa “harga diri” sebetulnya pesan tersirat untuk menyatakan komitmen, kejujuran serta konsisten melalui jalan politik. Harga diri mengaksentuasi kedalaman makna pertanggungjawaban moral atas suatu perkataan.
Bahkan kesediaan menerima stikma baik/buruk yang didasarkan pada fael (perbuatan). Seseorang disebut punya harga diri atau tidak, dapat dilihat dari cara ia memahami kedudukannya, berbicara dan bagaimana ideal dirinya bertindak terhadap orang lain. Pendeknya, tergantung kepemimpinannya.
Dalam konteks harga diri “kepala daerah”, ada waktu kebijakan yang dijanjikan secara moral. Bahwa beliau akan “menyelesaikan proyek pelabuhan Hiri di tahun (2023) ini juga”. Dia dengan meyakinkan menaruh batas penilaian diri, sebatas tahun 2023.
Lalu menguatkan spirit moral secara hukum (formal) di atas kertas bermaterai bernama MoU. Salah satu poin penting adalah pemerintah bersedia menyertakan anggaran fasilitas pendukung pelabuhan di tahun 2023. Namun, apa mimpi selanjutnya? Sampai akhir pengesahan anggaran tahun 2023, pemerintah ingkar janji dengan tidak melibatkan anggaran fasilitas pendukung pelabuhan Hiri.
Bagi saya, penjabat Wali Kota Ternate saat ini adalah tipologi penguasa immoral, “menggadaikan harga diri” sebagai kepala daerah dengan kebohongan, pelanggaran struktural, dan janji.
Wali Kota, tak bisa menjaga lidahnya sendiri. Karena selain mengingkari MoU yang berkekuatan hukum, dia juga menggagalkan kalimat awal bahwa proyek pelabuhan akan dia selesaikan tahun ini (2023) juga.
Namun yang terjadi malah sebaliknya, proyek ini kembali ditunda hingga tahun depan. Dengan demikian, beliau layak disebut Wali Kota yang tak bisa komitmen menjaga “harga diri” dengan kebijakan yang jujur dan terbuka.
Selamat Hari Sumpah Pemuda. Suba Jo. (*)

Tinggalkan Balasan