Harga Diri yang Tergadai.

Bahwa “harga diri” sebetulnya pesan tersirat untuk menyatakan komitmen, kejujuran serta konsisten melalui jalan politik. Harga diri mengaksentuasi kedalaman makna pertanggungjawaban moral atas suatu perkataan.

Bahkan kesediaan menerima stikma baik/buruk yang didasarkan pada fael (perbuatan). Seseorang disebut punya harga diri atau tidak, dapat dilihat dari cara ia memahami kedudukannya, berbicara dan bagaimana ideal dirinya bertindak terhadap orang lain. Pendeknya, tergantung kepemimpinannya.

Dalam konteks harga diri “kepala daerah”, ada waktu kebijakan yang dijanjikan secara moral. Bahwa beliau akan “menyelesaikan proyek pelabuhan Hiri di tahun (2023) ini juga”. Dia dengan meyakinkan menaruh batas penilaian diri, sebatas tahun 2023.

Lalu menguatkan spirit moral secara hukum (formal) di atas kertas bermaterai bernama MoU. Salah satu poin penting adalah pemerintah bersedia menyertakan anggaran fasilitas pendukung pelabuhan di tahun 2023. Namun, apa mimpi selanjutnya? Sampai akhir pengesahan anggaran tahun 2023, pemerintah ingkar janji dengan tidak melibatkan anggaran fasilitas pendukung pelabuhan Hiri.

Bagi saya, penjabat Wali Kota Ternate saat ini adalah tipologi penguasa immoral, “menggadaikan harga diri” sebagai kepala daerah dengan kebohongan, pelanggaran struktural, dan janji.

Wali Kota, tak bisa menjaga lidahnya sendiri. Karena selain mengingkari MoU yang berkekuatan hukum, dia juga menggagalkan kalimat awal bahwa proyek pelabuhan akan dia selesaikan tahun ini (2023) juga.

Namun yang terjadi malah sebaliknya, proyek ini kembali ditunda hingga tahun depan. Dengan demikian, beliau layak disebut Wali Kota yang tak bisa komitmen menjaga “harga diri” dengan kebijakan yang jujur dan terbuka.

Selamat Hari Sumpah Pemuda. Suba Jo. (*)