Oleh: Ridwan Hi. Hasan
Kenapa judul ini harus di angkat?, ya, karena berangkat dari realitas satu pekan terakhir banyak keluhan yang disampaikan dari berbagai pihak, baik secara lisan maupun tulisan melalui berbagai media sosial.
Seperti yang dilakukan Pemerinta Kota (Pemkot) Kota Ternate yang lebih mengutamakan kepentingan istri Wali Kota ketimbang para mama-mama dan papa-papa, Kelurahan Kastela, Jambula, Fitu, Sasa, Gambesi, Kalumata dan mama papa Kelurahan Mangga Dua yang ke pusat pembalanjaan.
Ini terlihat, ketika agenda Nasional, yakni pelaksanaan Sarasehan Istri Wali Kota (Rasai Kota) dan Pra Munas Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) XVII yang berlangsung di depan kantor Wali Kota Ternate, tertanggal, pada 2 sampai 4 Oktober 2023 dengan menutup jalan utama selama 5 hari.
Kegiatan yang dianggarkan sebesar 1,5 miliar ini dikeluhkan dari berbagai kalangan masyarakat karena dinilai sewenang-wenangan dengan kekusaan kepemimpinan berhak menutup jalan utama selama 5 hari yang terhitung mulai 29 September hingga 3 Oktober 2023 kemarin.
Padahal, jalan utama yang yang terletak di Kelurahan Muhajirin, Kecamatan Ternate Tengah itu menjadi sentral utama mama papa yang bepergian ke pusat pembelanjaan dalam kebutuhan sehari-hari itu harus diarakan melawan arus dan larangan serta gang-gang kecil untuk di ikuti. Sudah begitu dari jarak tempuh yang lebih cepat kini menjadi lebih lama untuk mencapai tujuan karena harus berputar di setiap gang dan melawan arus serta berpapasan dengan macet.
Namun, karena lebih penting dengan agenda Sarasehan dan APEKSI, Pemkot Kota Ternate lebih memilih untuk menutup ketimbang mendahulukan mama papa beraktifitas.
Dengan kegiatan Sarasehan dan APEKSI yang menutup jalan utama, kita dapat mengukur bagaimana peran Wali Kota yang telah dikendalikan Istri Wali Kota. Ukuran tersebut dilihat ketika kita membandingkan dengan kegiatan Nasional dan kegiatan Daerah lainya yang tidak semegah yang dilakukan dengan kegiatan Sarasehan tersebut.
Baca halaman selanjutnya…
Misalnya kunjungan Presiden RI, Joko Widodo dan rombongan ke Maluku Utara, salah satunya Kota Ternate beberapa bulan lalu. Malah kunjungan Presiden dan rombongan waktu itu lebih praktis dan tidak merugikan masyrakat Kota Ternate dengan cara menutup jalan berhari-hari.
Selain itu, kita perlu bertanya kenapa tidak dilakukan kegiatan di gedung yang telah disiapkan oleh Pemkot, yaitu Duafa Center ataupun ke lokasi yang tebuka, yaitu lapangan Ngara Lamo dan Lapangan Perikanan yang lebih mudah dan tidak merugikan aktifitas publik.
Hal tersebut, secara yuridis Pemkot Kota Ternate tidak amanah dalam menjalankan aturan, karena telah menabrak aturan tentang ketertiban umum yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalulintas angkutan jalan raya, dan pasal 3 ayat (1) Jo Perda nomor 4 tahun 2014 tentang ketertiban umum.
Apalagi kegiatan para istri-istri Wali Kota se-Indonesia bukan sebagai pejabat negara ataupun pejabat pemerintah yang harus difasilitasi dengan menutup jalan yang merugikan kepentingan publik.
Dengan kegiatan tersebut pula publik akan berasumsi bahwa siapa saja akan bisa menggunakan jalan utama sebagai tempat kegiatan, seperti dicontohi oleh Pemkot Kota Ternate.
Untuk itu, dengan uraian tentang kebobrokan pemerintah di atas, perlu dilihat secara kritis, sebab Sarasehan dan APEKSI dengan menutup jalan utama sudah menunjukan kemerataan keadilan maupun kesejahteraan tidak dirasakan masyarakat menengah ke bawah.
Buktinya, dengan kegiatan serimoni yang menelan anggaran 1,5 miliar ini menggambarkan Pemerintah dapat mengabaikan berbagai masalah sosial yang dialami masyarakat Kota Ternate, misalnya pelabuhan masyarakat pulau Hiri yang tak kunjung selesai dikerjakan, masalah sengketa lahan bangunan dan tanah di Kelurahan Kalumpang, Kelurahan Maliaro dan Kelurahan Kalumata serta masalah air bersih yang kian hari dikeluhkan.
Dalam konteks kasus yang sama, kita dapat mengajukan argumen bahwa absennya agenda kesejahteraan masyarkat tidak terhitung dalam kepentingan politik pemerintah, melainkan kesejahteraan masyarakat dihitung dalam kepentingan politik keluarga yang dirasakan secara kekeluargaan.
Dia yang memimpin kekuasaan, maka dia dan keluarga yang merasakan keadilan dan kesejateraan.
(*)

Tinggalkan Balasan