Dalam diskusi itu juga, para Akademisi mengkritik soal gonta-ganti Kepala sekolah yang terjadi selama pemerintahan Tauhid-Jasri (TULUS).
Menurut Akademisi UMMU, Agusmawanda ini semacam bisnis politik. Kepala sekolah yang awalnya sudah nyaman dan berbaur dengan lingkungan sekolah, baik dengan murid maupun orang tua siswa, tiba-tiba lantaran ada politisasi di dalamnya lantas Kepala sekolah tersebut dipindahkan, atau dicopot.
“Saya berharap pemerintah jangan mencampuadukan politik dengan pendidikan, karena ini menyangkut masa depan,” cetus Agus.
Sentilan lain juga datang dari Sosiolog Herman Oesman, yang menyorot soal hubungan Tauhid-Jasri.
“Sedari awal, sudah jadi rahasia publik, keduanya tak harmonis. Tauhid dan Jasri mungkin kurang menonton film kartun “Tom dan Jerry”. Film kartun ini sebenarnya model pembelajaran, bagaimana mengelola konflik dengan akhir yang baik, ada solusi. Sebaliknya, Tauhid-Jasri tidak memiliki semacam model bagaimana mengelola konflik di tubuh birokrasi agar memberikan manfaat. Jadi perlu menonton film kartun, “Tom and Jerry” celetuk Bang Her sapaan akrabnya.
Kritikan dan masukan yang dibahas dalam dialog tersebut, diambil kesimpulan bahwa pemerintahan Andalan belum bisa diandalkan dan masih “suka-suka”.
Belum lagi penobatan Kota Ternate sebagai Kota Rempah dengan city branding Smart City, yang dianggap ketiga akademisi itu sebagai slogan, tidak berkonsep dan tidak beridentitas.
Sebut saja Smart City atau Kota Pintar, yang berbarengan dengan era digitalisasi tapi pelayanan publik seperti pembayaran iuran air saja, masih manual. Sama halnya, konsep Kota Rempah yang tidak memiliki identitas. Maksud identitas, yakni penerapan yang yang dimulai dari pemerintah tidak ada. Contoh sederhananya, welcome drink di pintu-pintu masuk Kota Ternate seperti bandara atau pelabuhan bahkan hotel-hotel. Beberapa titik itu, tidak ada yang ditonjolkan pemerintah dalam mengenalkan kepada pengunjung atau tamu, bahwa kita adalah Kota Rempah.

Tinggalkan Balasan