“Seharusnya dia sampaikan satu saja, dan bilang kalau dia adalah Nur Dayan. Jadi pilih satu saja di antara dua undangan itu,” timpalnya.
Di sisi lain, Abdul Kadir juga meragukan kerja-kerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Tidore Kepulauan. Pasalnya, dinas terkait bisa menerbitkan NIK berbeda kepada satu warga. Sehingga, dalam kasus persoalan indentitas penduduk, Disdukcapil harus bertanggungjawab.
“Apalagi warga harus melakukan perekaman terlebih dahulu. Dan sekarang itu kita pakai identitas tunggal yang berasal dari Disdukcapil,” cecarnya.
Persoalan ini pula, tak terlepas dari pengawasan Bawaslu. Adanya sistem by name by addrees, tentunya tim juga harus tahu saat mengantarkan surat undangan berbeda kepada orang yang sama.
“Waktu undangan itu diantarkan, pastinya tahu kan, bahwa nama Nur Dayan dan Dayan adalah orang yang sama. Paling tidak mereka juga pasti bertanya ke warga sekitar. Tetapi yang terjadi undangan pencoblosan tetap diserahkan, dan diterima oleh yang bersangkutan. Sementara petugas di lapangan justru membiarkan hal tersebut. Jadi problemnya di situ,” bebernya.
Prinsipnya, pemilih sadar ketika menerima undangan dan saat mendatangi TPS. Sehingga, disebut ini kesengajaan. Apalagi, pemilih sudah cukup dewasa.
Disentil apakah kasus ini ada kaitannya dengan partai politik, Abdul Kadir mengatakan, sejauh ini tidak belum ada, sebab, motif pemilu sekarang ini adalah pemilih mencari untung dan memanfaatkan momen.
“Pilihan transaksional tinggi sekali, dan bisa jadi begitu karena keadaan. Dan mirip juga terjadi seperti di Kota Ternate. Bisa jadi juga kasus yang sama terjadi di tempat lain, hanya saja tidak terkuak begitu. Parpol-parpol juga tidak bisa disalahkan kalau ketemu pemilih kayak begini, karena dia juga suka mentransaksikan pilihannya,” tandasnya. (*)