TERNATE, KAIDAH MALUT – Aksi “preman bayaran” saat demo OKP Cipayung, Kamis 26 Oktober di depan Kantor Wali Kota Ternate mengundang pertanyaan besar. Padahal itu hanya aksi evaluasi kinerja M Tauhid Soleman sebagai Wali Kota Ternate.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, oknum tersebut adalah Ketua Pertina Kota Ternate, Hamka Midun.
Saat aksi OKP Cipayung, Hamka terekam dalam video tengah menghadang massa aksi, bahkan memukul dan menampar beberapa pendemo.
Ketua KONI Ternate Muhammad Ghifari Bopeng saat ditemui Kaidah Malut, Sabtu 28 Oktober 2023 membenarkan keterlibatan ketua cabor tinju tersebut.
Meski Hamka tercatat sebagai Ketua Pertina, tetapi keterlibatannya di aksi tanpa sepengetahuan KONI dan tidak ada kaitanya dengan organisasi.
“Ia benar itu Hamka Midun bahkan dia (Hamka) tercatat sebagai Ketua Pertina. Tapi ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan KONI. Yah tetap saja jabatan itu melekat, jadi saya juga menyayangkan hal tersebut,” ungkap Ghifari.
Ketua Garda NasDem itu bilang, Hamka dan beberapa anggota Pertina memang pernah berada pada tim Garda Tajam, yang saat itu khusus mendampingi Tauhid Soleman saat Pilwako lalu.
“Hamka dan beberapa orang di Pertina yang sekarang itu, pernah tergabung dalam Garda Tajam. Saat itu mereka mengawal pak Tauhid. Hanya saja ya itu, lagi-lagi publik tetap tahunya Hamka Ketua Pertina yang ada di bawah naungan KONI Ternate,” terangnya.
Atas insiden itu pula, Ghifari telah memberi teguran keras terhadap Hamka.
“Saya sudah beri teguran keras ke dia (Hamka) dengan catatan, agar tidak mengulangi lagi sikap tak terpuji seperti itu. Lagian ini kan hanya aksi damai juga. Saya menduga dia (Hamka) karena dekat dengan beberapa petinggi di Pemkot Ternate, jadi bisa saja dia (Hamka) dipakai untuk aksi kemarin,” sentilnya.
Terpisah, Akademisi Sahroni A Hirto menuturkan, sikap Pemkot Ternate terlalu berlebihan dan ada kepanikan dalam menghadapi massa aksi.
Menurut Dosen UMMU Ternate itu, aksi yang dilakukan OKP Cipayung hanya demonstrasi biasa yang tak perlu di-back up dengan “preman”.
Kalau sampai benar dari Pemkot Ternate ataupun sengaja diarahkan dari luar, untuk menggunakan preman, maka ini adalah sebuah pembelajaran terburuk sepanjang pemerintahan Tauhid Soleman.
Entah mau menggunakan ultimatum bahwa itu pendukung Tauhid, tetapi ini adalah cara yang tidak elegan dalam menghadapi massa aksi, apalagi menggunakan kekerasan.
“Karena mahasiswa juga tidak melakukan aksi anarkis atau brutal. Mereka hanya menyampaikan hasil evaluasi kepemimpinan Wali Kota Ternate. Wajar sih kalau mahasiswa mengevaluasi, kan tugas OKP Cipayung juga mengontrol program kerja pemerintah,” kata Sahroni.
Ketika massa aksi menyuarakan terkait tiga kecamatan terluar yakni Pulau Batang Dua, Hiri dan Moti, semestinya pemerintah membantahnya dengan data bukannya dibantah dengan pukulan.
“Kalaupun preman itu adalah pendukung dalam politik, saya rasa ini masih terlalu jauh. Lagian incumbent mau takut apa sih? Mereka kan cuma sampaikan argumentasi tiga pulau, kalau dari sisi teknis di lapangan lantas dibilangnya salah dan sebagainya, ya tinggal bantah dengan data kan,” timpalnya.
Pemerintah semestinya tidak boleh bersikap “tangan besi”. Karena bisa saja, itu pun terjadi pada masyarakat biasa. Kalau saja dari mahasiswa sudah tidak bisa mengkritik pemerintah, begitu pula masyarakat lantas pemerintahnya mau dikontrol sama siapa?
Seharusnya biarkan saja, para pengontrol ini tumbuh subur. Tapi sewajarnya kalau KONI memang harus memberikan penjelasan soal keterlibatan salah satu cabor, di aksi kemarin. Dan Kasatpol PP juga dengan alasan tidak tahu soal preman, semestinya penanganannya bukan ke massa melainkan ke orang yang tidak dikenal.
“Jadi kasat harusnya menangani orang yang tidak dikenal. Jadi kalau begini kan seakan-akan kasat juga ikut serta dalam menghadang massa aksi bersama preman,” tukasnya. (*)

Tinggalkan Balasan