TERNATE, KAIDAH MALUT – Yayasan Lembaga Pengkajian dan Advokasi (YLPAI) Maluku Utara mengadukan sejumlah Jaksa, yang mengani kasus dugaan korupsi pengadaan kapal nautika dan alat simulator di Dinas Pendidikan Provinsi Maluku Utara. Aduan ditujukan ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) dan Komisi Kejaksaan.

YLPAI menilai Kejati Malut tembang pilih dalam penanganan perkara, dugaan korupsi di Provinsi Maluku Utara.

Kepala Departemen Advokasi YLPAI Malut Muhammad Tabrani Mutalib dalam siaran pers Jumat, 21 Juli 2023 menyatakan, pengaduan yang dimasukan ke Jamwas dan Komisi Kejaksaan ini memiliki beberapa alasan yang cukup kuat.

Menurut Tabrani, perkara korupsi nautika yang ditangani oleh Kejati Malut diduga anti klimaks, setelah adanya putusan Mahkamah Agung (MA).

Padahal di awal penanganan perkara tersebut, lanjut dia, Kejati Malut begitu menggebu-gebu dan terkesan over publikasi melakukan penyidikan kasus tersebut.

“Sekarang setelah adanya putusan MA, justru kasus tersebut tidak jelas lagi ujungnya seperti apa? Padahal dalam putusannya, MA telah memberikan petunjuk penting kepada Kejati Malut, untuk melakukan pengembangan penyidikan dan menetapkan calon tersangka lain. Karena kasus a quo adalah kasus korupsi yang terbukti secara bersama-sama,” ungkapnya.

Ia menegaskan, bahwa dalam putusan MA No. 4257 K/Pid.Sus/2022 yang telah diputus tanggal 21 September 2022, telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) atas nama terdakwa Imran Yakub.

Baca halaman selanjutnya…

Pertimbangan hukum (ratio decidendi) MA menyatakan, Imran Yakub sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur pembentuk delik, dari perbuatan pidana korupsi nautika. Baik dari aspek fisik perbuatan, maupun unsur batin tidak ditemukan niat jahat.

Sehingga, kata dia, MA berkesimpulan justru yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukum atas kasus tersebut, yakni Djafar Hamisi dan Imam Makhdy.

“Secara a contrario, Djafar Hamisi dan Imam Makhdy terbukti yang membubuhkan tanda tangan terhadap perbuatan hukum pencairan uang, baik uang muka 20 persen dan 70 persen untuk paket kapal bautika. Dan alat simulator serta pencairan 100 persen untuk paket alat simulator,” jelasnya.

Olehnya itu, Tabrani menyebut, ini sudah terang berdasarkan fakta hukum bahwa Djafar Hamisi dan Imam Makhdy, terbukti memiliki hubungan atau keterlibatan dalam kasus ini.

“Namun kenapa sampai sekarang keduanya tidak dilakukan penyidikan dan penetapan tersangka oleh Kejati Malut? Publik bertanya-tanya ada apa? dan kalau Kejati Malut beralasan bahwa mereka perlu menelaah lagi putusan MA tersebut, maka alasan tersebut tidak berdasar hukum dan terindikasi melanggar kewajiban jaksa, dalam kode etik jaksa berdasarkan Pasal Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-014/A/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa,” bebernya.

Kewenamgan jaksa berdasarkan UU Kejaksaan hanyalah menjalankan putusan pengadilan dan/atau penetapan-penetapan pengadilan, dan tidak ada kewenangan jaksa untuk menelaah lagi putusan, apalagi ini putusan MA.

“Sebab pertimbangan hukum majelis hakim dalam putusan sifatnya mengikat, tidak hanya amar putusan semata, karena amar putusan itu baru bisa ada karena adanya latar belakang kesimpulan dan penerapan hukum hakim, terhadap fakta-fakta hukum terungkap di persidangan,” cercanya.

“Maka tidak ada alasan dari Kejati Malut untuk tidak segera melakukan penyidikan lanjutan, terhadap calon-calon tersangka lain dalam kasus a quo,” sambungnya.

Atas kejanggalan itu pula, YLPAI segera mengirimkan pengaduan/laporan ke Jamwas Kejagung dan Komisi Kejaksaan terhadap persoalan ini, dengan tujuan peran serta pengawasan publik terhadap kinerja kejaksaan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.

“Sehingga tidak ada lagi asumsi-asumsi yang muncul di publik bahwa dalam perkara nautika, Kejati Malut melakukan penegakan hukum secara tebang pilih dan terkesan diskriminatif terhadap siapa saja, yang terlibat dalam kasus tersebut,” pungkasnya. (*)