Pertimbangan hukum (ratio decidendi) MA menyatakan, Imran Yakub sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur pembentuk delik, dari perbuatan pidana korupsi nautika. Baik dari aspek fisik perbuatan, maupun unsur batin tidak ditemukan niat jahat.
Sehingga, kata dia, MA berkesimpulan justru yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukum atas kasus tersebut, yakni Djafar Hamisi dan Imam Makhdy.
“Secara a contrario, Djafar Hamisi dan Imam Makhdy terbukti yang membubuhkan tanda tangan terhadap perbuatan hukum pencairan uang, baik uang muka 20 persen dan 70 persen untuk paket kapal bautika. Dan alat simulator serta pencairan 100 persen untuk paket alat simulator,” jelasnya.
Olehnya itu, Tabrani menyebut, ini sudah terang berdasarkan fakta hukum bahwa Djafar Hamisi dan Imam Makhdy, terbukti memiliki hubungan atau keterlibatan dalam kasus ini.
“Namun kenapa sampai sekarang keduanya tidak dilakukan penyidikan dan penetapan tersangka oleh Kejati Malut? Publik bertanya-tanya ada apa? dan kalau Kejati Malut beralasan bahwa mereka perlu menelaah lagi putusan MA tersebut, maka alasan tersebut tidak berdasar hukum dan terindikasi melanggar kewajiban jaksa, dalam kode etik jaksa berdasarkan Pasal Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-014/A/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa,” bebernya.
Kewenamgan jaksa berdasarkan UU Kejaksaan hanyalah menjalankan putusan pengadilan dan/atau penetapan-penetapan pengadilan, dan tidak ada kewenangan jaksa untuk menelaah lagi putusan, apalagi ini putusan MA.
“Sebab pertimbangan hukum majelis hakim dalam putusan sifatnya mengikat, tidak hanya amar putusan semata, karena amar putusan itu baru bisa ada karena adanya latar belakang kesimpulan dan penerapan hukum hakim, terhadap fakta-fakta hukum terungkap di persidangan,” cercanya.
“Maka tidak ada alasan dari Kejati Malut untuk tidak segera melakukan penyidikan lanjutan, terhadap calon-calon tersangka lain dalam kasus a quo,” sambungnya.
Atas kejanggalan itu pula, YLPAI segera mengirimkan pengaduan/laporan ke Jamwas Kejagung dan Komisi Kejaksaan terhadap persoalan ini, dengan tujuan peran serta pengawasan publik terhadap kinerja kejaksaan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
“Sehingga tidak ada lagi asumsi-asumsi yang muncul di publik bahwa dalam perkara nautika, Kejati Malut melakukan penegakan hukum secara tebang pilih dan terkesan diskriminatif terhadap siapa saja, yang terlibat dalam kasus tersebut,” pungkasnya. (*)