TERNATE, KAIDAH MALUT – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Ternate, Maluku Utara, meminta keterangan mantan Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Ternate, Nurbaity Radjabessy dalam sidang kasus dugaan korupsi anggaran vaksinasi Covid-19.
Selain Nurbaity, ada pula tiga saksi yang dihadirkan dalam persidangan. Dugaan kasus korupsi ini, melekat pada Dinas Kesehatan Kota Ternate tahun 2021-2022 senilai Rp22 miliar.
Kehadiran Nurbaity itu, selaku pengguna anggaran dan penanggungjawab. Tiga saksi itu di antaranya, Yanti Pora, Ririt dan Halyani selaku Koordinator vaksinasi.
Sidang berlangsung Selasa, 20 Februari 2024 dengan agenda pemeriksaan saksi, yang dipimpin oleh Haryanta sebagai ketua majelis hakim.
“Seingat saya dana tentang vaksinasi Rp22 miliar lebih, tapi yang digunakan hanya Rp15 miliar,” ungkap Nurbaity dalam persidangan.
Ia bilang, soal SPM itu ada di bendahara dan dirinya hanya menandatangani beberapa SPM yang diingat saja.
“Tidak dipaksakan saat diperiksa penyidik. Tidak tahu menimpa dengan para terdakwa. Masalahnya ditanyakan vaksinasi, tidak pernah terima uang, tapi hanya terima honor. Honor yang saya terima potong pajak 15 persen Rp1,9 juta lebih,” sambungnya.
Selaku Kadiknes saat itu, ia juga bertindak sebagai penanggungjawab dan menandatangani SPM, selanjutnya menjadi urusan bendahara, yakni Fatimah dan Hartati (Kasubag Keuangan). Sementara, terdakwa Andi sebagai PPK, di mana mencairkan dana makan minum.
“Monitoring terhadap uang yang sudah dibayarkan dan mereka sampaikan semua berjalan dengan baik. Saya sudah tidak tahu lagi selanjutnya. Saya mengontrol itu kalau dana sudah diserahkan ke bagian catering dan snack. Saya tidak hafal. Kalau kecamatan di luar Ternate berhak mendapatkan konsumsi,” terangnya.
“Saya hanya tanda tangan SPM. Saya cek data semuanya yang diserahkan oleh bendahara,” sambungnya.
Dalam kesaksiannya, Nurbaity menceritakan kesibukannya selama kegiatan vaksinasi dan covid. Sehingga, persoalan tanda tangan dirinya hanya mengecek melalui bendahara.
“Saat itu saya menanyakan apakah nama-nama itu sudah sesuai SK dan dijawab sudah, sehingga saya menandatangai SPM. Setahu saya bendahara mengurus SPM dan SP2D tidak masalah,” ujarnya.
Bahkan, untuk honorarium, ia juga mengaku tidak tahu.
“Saya tidak tahu, nanti pada saat pemeriksaan baru tahu ada pemotongan. Karena itu berhubungan dengan Tati (Terdakwa) kalau menyangkut dengan keuangan,” pungkasnya.
Sementara ketiga saksi lainnya yaitu Halyani, Yanti Pora dan Ririt mengaku, mendapat honor sebesar Rp1,9 juta lebih.
Selama kegiatan, mereka bilang, semua berjalan dengan baik.
“Dapat bagian (honor) Rp1,9 juta lebih. Nanti tahunya setelah dipanggil masalah honor ada yang tidak menerima, baru tahu ada masalah. Tapi nilainya tidak tahu,” ucap salah satu saksi, Halyani.
Sekadar diketahui, sebelumnya Kejari Ternate telah lebih dulu menetapkan tiga tersangka, yakni mantan Kasubag Keuangan Dinas Kesehatan Hartati, mantan bendahara Fatimah, dan mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Andi.
Andi merupakan salah satu pejabat pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang merangkap dua PPK, yakni vaksinasi dan covid yang masing-masing melekat di Dinkes dan BPBD. (*)

Tinggalkan Balasan