Di tengah krisis panen tersebut, kata Samsudin, warga kemudian memanfaatkan tanaman bulanan untuk menghidupi kebutuhan mereka sehari-hari.
“Sudah lima tahun terakhir cengkeh tak lagi panen. Warga hanya berharap pada tanaman bulanan seperti pala. Tapi pala juga panennya tak sama lagi kayak dulu,” ujar Samsudin yang adalah Sekretaris Lurah Kalaodi.
Sebagian penduduk Kalaodi berprofesi sebagai ASN, namun kehidupan mereka tidak lepas dari bertani.
“Sudah dari turun-temurun orang Kalaodi bisa berpendidikan dan makan minum dari hasil rempah-rempah ini,” kata Samsudin.
Julukan kampung ini adalah ‘Negeri di Atas Awan’. Pasalnya Kalaodi sangat lekat dengan alam.
Tak hanya soal komoditas rempah saja, bagi Samsudin, Kalaodi juga menyimpan banyak kekayaan tradisi yang sudah berlangsung cukup lama dan masih lestari hingga saat ini.
Samsudin menuturkan, orang Kalaodi punya cara menggambarkan rasa syukur mereka terhadap hasil panen yang mereka peroleh. Namanya tradisi ‘hoimasou’ yang berarti merupakan bentuk syukur.
Hoimasou yakni menyisihkan sebagian hasil panen, untuk diserahkan ke rumah adat. Lalu menyerahkannya ke tempat-tempat ibadah.
“Hasil panennya diantar ke masjid, kemudian biasanya petugas masjid mendoakan sebagai wujud syukur,” ceritanya.
Ia meyakini bahwa tradisi itu tetap lestari hinga sekarang. Selain ‘hoimasou’, masih banyak lagi ritual yang bertalian dengan masa panen di Kalaodi.
Rumah Pengering Rempah di Pegunungan Tidore
Pandangan Hamza Falila sesekali mengarah ke rumah pengeringan rempah yang tegak di hadapannya.
Siang itu, Hamza sedang meratakan biji buah pala.
Bangunan untuk menjemurkan biji buah pala itu berukuran setengah lapangan futsal.
Ia juga lantas memindahkan beberapa potongan kayu manis yang berserakan, lalu meratakannya.
Rumah pengeringan ini berada di Dusun Dola, tepatnya di pekarangan rumah milik Sudarwin. Bangunan yang atapnya terbuat dari plastik ini hadir sejak Desember 2022.
Bagi Hamza, rumah pengeringan tersebut cukup membantu dan punya banyak manfaat terutama saat cuaca tak lagi bersahabat.
“Kalau hujan, torang tara sibuk lagi angkat kasih masuk ke dalam rumah. Terus manfaatnya juga karena lahan jemuran di sini terbatas, jadi dengan rumah pengering ini torang bisa hemat tempat jemuran,” ujarnya.
Ia lantas membandingkannya dengan kondisi petani Kalaodi ketika memanfaatkan jalanan dan pekarangan rumah sebagai lahan jemuran.
Dengan menjemur rempah di dalam ruangan ini, tidak akan mengubah kualitas rempahnya.
“Kalau jemur cengkeh di aspal pas cuaca normal, itu tiga hari bisa kering. Tapi, kalau di rumah pengering ini, paling cuma dua hari saja. Secara kualitas pun beda,” terang Hamza.
Meski kehadiran rumah pengering ini belum lama dan tidak bertepatan dengan panen cengkeh, Hamza mengaku keberapa kali sudah melakukan uji coba.