Ini disebabkan, karena adanya polarisasi yang dilakukan oleh kekuasaan terhadap media. Paling tidak kalau kita berbicara pada independensi yang paling berat adalah bermain pada wilayah periklanan. Kita berbicara independensi, tetapi ada kuota iklan, yang harus disetor ke kas Perusahaan Media.
Data BPS Maluku Utara menyebutkan bahwa Indek demokrasi di Maluku Utara pada tahun 2021 dari 12 sektor, terdapat 3 sektor indeks demokrasi yang nilainya paling rendah yaitu transparansi anggaran 0,00 persen, netralitas penyelenggara pemilu 0,00 persen, partisipasi masyarakat yang diintervensi oleh kebijakan publik oleh DPRD hanya 31,1 persen.
“Jadi ada keterlibatan masyarakat dalam kebijakan publik sangat minim,” ucapnya.
Dirinya optimi dalam keberlangsungan media di tengah gempuran media sosial, hanya saja media mainstream terjebak pada menginformasikan sesuatu, dan bukan pada kewajiban dalam memberitakan, misalnya, isu yang diangkat hanya diberitakan sekali, padahal ada aspek keberlanjutan yang harus dijawab dan diselesaikan oleh media, namun tidak diselesaikan.
“Terkadang kita menulis berita berhenti sesaat, kemudian beberapa bulan lagi baru kita lanjutkan. Jadi ada kebingungan dalam membuat berita. Apakah karena cover both side atau minimnya SDM, sehingga pada kondisi tertentu masyarakat lebih mempercayai media sosial dibandingkan media massa,” tandasnya. (*)
Narahubung:
0812-4207-7522 (Ikram)
0812-4444-7664 (Faris)