“Fakta di lapangan memperlihatkan, sungai tersedimentasi tambah dengan jumlah yang banyak membuatnya berubah warna sepanjang waktu, burung-burung kehilangan rumahnya, banjir menjadi langganan, bahkan orang miskin terus menjamur,” cecarnya.
Badan Pusat statistik (BPS) Malut merilis sepanjang tiga tahun terakhir (2018-2021) Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, mengoleksi orang miskin terbanyak di Maluku Utara, dengan persentase tiap tahunnya tidak kurang dari 21 ribu jiwa.
“Itu artinya kebijakan mendatangkan investasi merupakan langka fatal yang sudah dilakukan pemerintah, namun tidak kunjung diakui lantas mencabut izin usahanya, kemudian mengembalikan kepada rakyat pribumi, justru sebaliknya servis terhadap korporasi adalah paling utama ketimbang urusan rakyat,” tegas dia.
Hal itu nampak jelas, saat status Proyek Strategis Nasional (PSN) sampai Objek Vital Nasional (OVN), didapatkan PT IWIP dan PT Harita dari pemerintah.
Padahal operasi kedua raksasa tambang tersebut, hanya membuat kota-kota di China, Eropa, dan Amerika menjadi hijau dan ramah terhadap lingkungan, sementara Maluku Utara harus menanggung kerusakan yang tiada pulih akibat itu.
“Dan saat ini para pemimpin negara-negara itu sedang berkumpul mengggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, dan tidak lebih pertemuan itu hanya memperparah situasi iklim,” tandasnya. (*)