SOFIFI, KAIDAH MALUT – Akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Muktar Adam, mencurigai adanya sesuatu di balik panggung pemekaran Kota Sofifi menjadi Daerah Otonom Baru (DOB) melepas diri dari Kota Tidore Kepulauan (Tikep).
Menurut Dosen Ekonomi ini, jika berbicara tentang Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999, memang ada problem dalam pasal sebutan Sofifi.
Ia menuturkan, di tahun 1999 Sofifi sudah disebut dalam UU 46 tahun 1999.
Sementara Kita Tidore Kepulauan sendiri lahir pada 2003. Itu berarti posisi masih kuat pada Sofifi.
Pada bagian fungsi dalam otonom, kata Muktar, Pemerintah Kota (Pemkot) tidak fungsi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov), sementara Pemkot Tikep, tidak mau membentuk kotanya di Sofifi.
“Kalau saja, Tikep menyetujui akan hal itu. Maka persoalan ini selesai. Karena fungsi layanan dapat dilakukan Pemkot, contoh sederhana yakni, SD dan SMP bukan kewenangan Provinsi, tapi itu ada di wilayah ibu kota. Begitu juga penataan tata kota menjadi kewenangan Kabupaten/Kota. Sehingga, batas-batas itulah yang menjadi hambatan bagi Sofifi untuk kemajuan,” tutur Muktar saat diwawancara, Sabtu, 23 Oktober 2021 di Ternate.
Walau begitu, lanjut dia, hal ini mestinya ditanyakan kepada Sultan Tidore, soal apa yang melatarbelakangi pikiran Pemkot Tikep.
“Apakah Sofifi mengakibatkan Tidore menjadi miskin, kan justru tidak,” imbuhnya.
Baginya, Tidore, Maitara dan Mare waktu dimekarkan di Kota masing-masing pun, DAU Kota tidak akan turun. Pasalnya, itu sudah dijaminkan oleh UU, dimana DAU tidak akan turun, kecuali ada koreksi soal kasus Covid-19.
“Kalau begitu apa yang harus ditakuti? kita butuh kesejahteraan, kita butuh redistribusi percepatan. Kalau APBD Tidore hanya Rp800 miliar, kalau bisa lalu turun misalnya jadi Rp700 miliar, dan di Sofifi jadi Rp500 miliar berarti itu kan sudah jadi Rp1,2 Triliun dan Tidore tidak usah pikir-pikir lagi, karena kita butuh percepatan,” jelasnya.
Muktar bilang, jangan ada sekat-sekat, karena Pemerintah ini hanya batas administrasi.
“Karena mobilitas manusia juga kan tidak bisa diukur oleh apa KTP mu, kan fungsi layanan ada semua, karena kita dalam satu kesatuan, maka cara berpikir ini harus dibongkar,” tambahnya.
Menurut Bung Ota sapaan akrabnya ini, persoalan ini harus ada gerakan bersama dan perundingan dengan duduk bersama antara Pemprov Malut dan Pemkot Tikep.
“Saya pikir, harus ada gerakan bersama dan kita perlu duduk bersama. Saya tidak tahu di panggung belakangnya apa yang dipikirkan oleh Pemkot Tikep, dan yang kita lihat hanya panggung depannya saja. Jadi mesti tahu juga apa panggung belakangnya ini, kok persoalan ini tidak pernah selesai dan saya mencurigai ada sesuatu di panggung belakang dari persoalan ini yang tidak keluar ke permukaan,” pungkasnya.
“Carilah panggung belakang, untuk kemaslahatan kita bersama,” tutupnya.*