Politik sendiri secara esensial, memainkan segala kemungkinan, agar semua kalangan dapat berpartisipasi aktif demi mencapai kata ‘keadilan.’
Dalam narasi tentang demokrasi, terdapat makna kedaulatan. Aspek yang paling penting adalah, mendistribusikan pelayanan publik yang berkeadilan sesuai amanat konstitusi. Semua diimplementasikan dalam sistem tata kelola pemerintahan.
Bukan tentang penegasan atas sebuah identitas. Karena akan sulit bagi kita untuk melihat dan membedakan, mana figur rakyat dan mana figur untuk kelompok atau daerah tertentu. Apalagi, beragam polarisasi hingga argumen yang dibangun, ujung-ujungnya justru mendiskreditkan sesama rakyat.
Pada akhirnya, hak memilih dan kewajiban dari yang terpilih akan sulit untuk dijelaskan capaian demokrasi dari hasil pemilu. Tentu ini akan berdampak pada amburadulnya penyelenggaraan pemerintahan. Sebab pers sendiri, seakan lebih menekankan aspek popularitas ketimbang kualitas.
Jurnalisme seakan memainkan peranan ganda, yaitu sebagai alat komunikasi dan juga sebagai penanda identitas. Identitas seakan menjadi faktor penentu atas dukungan publik.
Karena lewat identitas, seseorang dapat membangun kepercayaan masyarakat yang pada akhirnya, dapat juga digunakan untuk mengukur keterbukaan masyarakat terhadap politisi atau partai politik.
Penggunaan model politik dengan memanfaatkan identitas tradisional-ikatan primordial, sebagai instrumen strategis, seakan sudah menjadi semacam pola pandang dan anutan yang diikuti.
Karenanya, pemanfaatan identitas tradisional yang mestinya dirasakan sebagai ancaman, malah lebih dilihat sebagai faktor determinan penentu kemenangan politik.