Peringatan ini sejalan dengan pengalaman Indonesia menghadapi gerakan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Meski berbeda metode, keduanya sama-sama membawa ideologi transnasional yang berlawanan dengan ruh Islam Indonesia. Jika Salafi menggerus tradisi keagamaan, maka HTI menggerus fondasi kebangsaan dengan menolak Pancasila dan mendorong ide khilafah.
Keduanya ibarat dua sisi mata uang: satu meniadakan tradisi, satu lagi meniadakan negara. Jika dibiarkan, keduanya bisa sama-sama melahirkan kegaduhan dan mengancam persatuan umat.
Pada akhirnya, perayaan Maulid Nabi adalah momentum untuk meneguhkan kembali jati diri Islam Indonesia: ramah, bukan marah; merangkul, bukan memukul; membangun, bukan merobohkan.
Islam di Indonesia terbukti mampu menyatukan keragaman etnis, budaya, dan bahasa. Ulama kita dahulu berhasil menanamkan Islam tanpa menyingkirkan kearifan lokal.
Karena itu, menjaga diri dari infiltrasi Salafi maupun ideologi transnasional seperti hizbut tahrir bukan hanya urusan teologi. Ia adalah bagian dari menjaga persatuan bangsa. Sebab ketika masjid kita direbut, atau tradisi kita dicabut, sejatinya yang dipertaruhkan bukan hanya tempat ibadah, melainkan ruh kebersamaan umat Islam Indonesia. (*)
Wallahu a’lam

Tinggalkan Balasan