Langkah itu diambil untuk meredam keresahan dan mencegah kampus menjadi ruang penyebaran ideologi transnasional.

Situasi serupa juga terjadi di Universitas Indonesia (UI), khususnya di Masjid Ukhuwah Islamiyah. Beberapa alumni dan mantan aktivis dakwah menyebutkan, masjid kebanggaan mahasiswa UI itu kini kian sepi dari aktivitas keagamaan mahasiswa.

Kajian reguler yang dulu ramai mulai berkurang, akses ke pengurus masjid menjadi lebih terbatas, bahkan sejumlah kelompok mahasiswa merasa kesulitan mendapatkan ruang dakwah.

Muncul dugaan adanya “sterilisasi” aktivitas, di mana ruang-ruang keagamaan mahasiswa yang dahulu cair kini menjadi lebih terkunci.

Di Yogyakarta, geliat dakwah Salafi juga tampak jelas di sekitar kampus-kampus besar seperti UNY dan UGM. Melalui masjid-masjid sekitar kampus, kelompok Salafi menawarkan gagasan “pemurnian Islam” yang tampak sederhana, namun perlahan mampu menarik minat mahasiswa.

Tidak sedikit mahasiswa yang sebelumnya apatis terhadap kegiatan keagamaan, akhirnya ikut dalam lingkaran dakwah Salafi. Dengan cara ini, kampus menjadi ladang subur penyemaian ideologi yang keras dan tekstual.

Menyadari ancaman ini, pimpinan UGM menegaskan komitmennya untuk menangkal paham ekstrem di lingkungan kampus. Rektor UGM bahkan menyatakan bahwa dosen-dosen akan dilibatkan secara aktif dalam mendampingi kegiatan keagamaan mahasiswa.

Tujuannya jelas: agar kajian, materi, maupun penceramah yang hadir tetap dalam koridor moderasi dan tidak dimanfaatkan untuk menyusupkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Meski demikian, penting dicatat bahwa tidak semua laporan terkait masjid kampus benar-benar menunjukkan adanya “pengambilalihan” struktural. Banyak klaim masih bersifat indikatif, berupa dugaan pengaruh dakwah, pilihan penceramah, atau kebijakan internal pengurus yang dianggap condong ke arah tertentu.

Bahkan, sejumlah pihak kampus justru menyangkal tuduhan itu. Masjid Ukhuwah Islamiyah UI, misalnya, pernah menegaskan bahwa seluruh aktivitasnya berlandaskan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tetap berpijak pada Pancasila, serta berkomitmen menjaga nilai-nilai moderasi dalam beragama.

Narasi yang beredar di masyarakat kampus inilah, yang menunjukkan bahwa infiltrasi ideologi transnasional seperti Salafi dan HTI memang nyata dirasakan, meski bentuknya berbeda-beda: ada yang terang-terangan melalui figur penceramah, ada yang lebih halus lewat kajian mahasiswa, ada pula yang sekadar memunculkan kesan eksklusivitas dalam ruang dakwah.

Semua ini mengingatkan kita bahwa kampus sebagai pusat pembentukan intelektual bangsa tidak pernah steril dari tarik-menarik ideologi, dan perlu terus dijaga agar tetap menjadi ruang tumbuhnya Islam yang moderat dan rahmatan lil ‘alamin.

ANCAMAN BAGI PERSATUAN UMAT

Kasus-kasus itu membuktikan, strategi “menguasai rumah orang” yang dijalankan Salafi bukan isapan jempol. Mereka jarang membangun masjid baru, tetapi lebih sering menguasai infrastruktur yang sudah ada, dari masjid kampung hingga mushala kantor pemerintah.

Akibatnya jelas: gesekan sosial. Tradisi yang selama ini menyatukan umat, perlahan terkikis. Masyarakat dipaksa memilih: ikut model baru yang keras, atau dianggap “ahli bid’ah”. Perpecahan pun tak terhindarkan.

Mahfud MD sudah mengingatkan, NU dan Muhammadiyah harus menjaga masjid-masjidnya. Said Aqil Siraj menegaskan, Wahabi-Salafi adalah pintu masuk radikalisme. Islah Bahrawi bahkan menambahkan, dari sejumlah orang yang ditangkap karena terorisme, banyak di antaranya berasal dari lingkungan Salafi-Wahabi.