Oleh: Ramli Yusuf

Akademisi IAIN Ternate, Sekrtaris FKUB Maluku Utara

PERDEBATAN tentang Sofifi sebagai pusat Ibu Kota Provinsi Maluku Utara sejak 1999 hingga kini, seakan tak pernah menemukan titik akhir. Sudah lebih dari dua dekade perjalanan pemekaran wilayah dilalui, namun cita-cita untuk menghadirkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan.

Masyarakat di Sofifi dan sekitarnya, merasa belum sepenuhnya merasakan hasil pembangunan, bahkan laju sosial-ekonomi di kawasan itu terkesan lambat.

Pertanyaannya, apakah kondisi ini berakar dari status Sofifi yang masih sebatas kelurahan, meskipun berfungsi sebagai ibu kota provinsi? Atau justru dipengaruhi oleh kebijakan politik anggaran Kota Tidore Kepulauan yang dinilai tidak proporsional dalam membagi kue pembangunan?

Fakta sejarah mencatat, penetapan Sofifi sebagai pusat pemerintahan provinsi adalah bagian dari kesepakatan politik yang tak bisa diabaikan begitu saja. Namun, idealisme itu berbenturan dengan realitas birokrasi yang menyisakan banyak persoalan. Pemerataan pembangunan yang diharapkan justru masih timpang.

Dalam situasi demikian, gagasan menjadikan Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) mencuat sebagai solusi alternatif. Harapannya, percepatan pembangunan dapat dilakukan dengan rentang kendali yang lebih efektif, terutama dalam menjawab kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, listrik, air bersih, hingga infrastruktur pendukung lainnya.

Sayangnya, gagasan Gubernur Maluku Utara untuk mendorong Sofifi menjadi DOB tidak berjalan mulus. Isu ini menggelinding seperti bola salju: semakin besar dan sulit dikendalikan.

Polemik berkembang luas, menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Diskusi hangat bergulir di ruang publik, media sosial, hingga warung kopi, bahkan aksi demonstrasi mulai digelar. Pada titik ini, DOB bukan lagi sekadar wacana teknis-administratif, melainkan telah menimbulkan polarisasi sosial di masyarakat.

Pemekaran daerah, sejatinya, tak cukup dipandang dari aspek legal-formal sesuai syarat konstitusi. Ada variabel lain yang jauh lebih penting, yakni kesiapan sosial, budaya, ekonomi, dan politik lokal. Apalagi Sofifi berada di wilayah administratif Kota Tidore Kepulauan, yang memiliki akar sejarah sebagai daerah Kesultanan Tidore.

Nilai-nilai adat dan kearifan lokal yang menjunjung tinggi harmoni dan penghormatan harus dijadikan landasan dalam mengambil keputusan. Karena itu, dialog inklusif yang melibatkan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, DPRD, Kesultanan Tidore, serta berbagai pemangku kepentingan dan masyarakat luas menjadi keharusan.

Langkah dialogis ini penting untuk menghindari kesalahpahaman, terlebih agar aspirasi masyarakat Kecamatan Oba yang selama ini merasa termarjinalkan bisa mendapat ruang.

Jangan sampai isu DOB dimanfaatkan segelintir elite untuk kepentingan politik praktis, yang akhirnya justru mengorbankan masyarakat. Biaya sosial akibat konflik horizontal terlalu mahal untuk ditanggung, apalagi jika persaudaraan anak negeri Para Raja sampai retak hanya karena perbedaan sikap terhadap DOB.

Sejarah menunjukkan, tidak semua daerah otonom baru mampu berkembang sesuai harapan. Sejak 1999 hingga 2014, pemerintah memfasilitasi 223 pemekaran daerah, namun hasil evaluasi Kemendagri mencatat 60 persen gagal berkembang. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) bahkan menyebutkan 181 kabupaten dan 34 kota memiliki kinerja rendah dalam hal akuntabilitas, pelayanan publik, dan capaian pembangunan.

Maluku Utara sendiri termasuk wilayah yang perkembangannya tergolong lambat. Fakta ini menjadi cermin agar kita lebih berhati-hati menatap wacana DOB Sofifi.

Dengan mempertimbangkan kompleksitas masalah, ada beberapa opsi yang bisa dipikirkan. Pertama, apabila peningkatan status Sofifi menjadi kota madya dianggap mendesak, maka usulan DOB harus segera diajukan.

Hal ini sejalan dengan janji politik sejumlah kandidat kepala daerah, meskipun sikap mereka kemudian berubah-ubah. Opsi ini tentu akan mengakomodasi aspirasi sebagian masyarakat yang ingin Sofifi berdiri sebagai entitas otonom untuk mempercepat pembangunan.

Namun, opsi kedua adalah menunda DOB dan fokus pada akselerasi pembangunan infrastruktur. Pemerintah bisa memaksimalkan sumber daya yang ada, baik PAD, DAU, maupun DAK, untuk mempercepat pembangunan Sofifi tanpa harus terburu-buru memekarkan daerah. Pertimbangan biaya administrasi, beban fiskal, serta risiko mengecilnya wilayah Kota Tidore Kepulauan perlu diperhitungkan matang-matang.

SOLUSI MODERAT

Selain itu, ada solusi moderat lain: Solusi moderat, menetapkan Sofifi sebagai Kawasan Khusus Ibu Kota Provinsi Maluku Utara melalui peraturan pemerintah. Status khusus ini dapat menjadi jalan tengah yang memberi kepastian hukum bagi Sofifi sebagai pusat pemerintahan, tanpa harus terburu-buru mengubahnya menjadi DOB.

Skema ini bisa menjadi peta jalan dalam merencanakan pembangunan yang lebih terarah sekaligus mengurangi gesekan politik lokal.

Pada akhirnya, DOB Sofifi adalah isu yang sarat kepentingan. Ada aspirasi tulus masyarakat yang ingin merasakan pemerataan pembangunan, tetapi ada pula aroma kepentingan politik yang tak bisa dinafikan.

Karena itu, bijak kiranya kita menempatkan persoalan ini secara proporsional. Pemekaran seharusnya bukan sekadar proyek politik, melainkan instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sofifi memang memiliki keunikan: sebuah kelurahan kecil yang menyandang status ibu kota provinsi. Realitas ini tak bisa dibiarkan terus-menerus tanpa kepastian.

Tetapi keputusan untuk menjadikan Sofifi sebagai DOB, menundanya, atau mengubah statusnya menjadi kawasan khusus harus ditempuh melalui dialog, kajian akademis yang mendalam, dan perhitungan matang.

Hanya dengan begitu, langkah politik yang diambil tidak akan menjadi bumerang, melainkan benar-benar menghadirkan manfaat bagi rakyat Maluku Utara. (*)