PSSI menjadi tongkat konsolidasi pribumi, menciptakan ruang tanding sendiri yang
tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme, tetapi juga
wadah bagi identitas nasional yang mulai tumbuh. Kata Prasetyo, sejak awal,
sepak bola di Indonesia memang bukan sekadar permainan.
Ia menambahkan, tatkala rezim orde baru sedang kuat-kuatnya dan pengekangan kebebasan berpendapat terjadi di mana-mana, stadion menjadi sedikit tempat masyarakat mampu menyalurkan ekspresi mereka meski tidak secara langsung mengkritik pemerintah.
Komunitas suporter mulai terbentuk dan mengorganisir diri, misalnya Bobotoh dan Viking Persib Bandung yang didirikan pada 1993. Kemudian di tahun-tahun berikutnya lahir Jakmania dan Aremania. Mereka bukan hanya menghidupkan atmosfer pertandingan tapi juga rasa kolektivitas dan solidaritas dari orang-orang biasa.
Sejarah panjang dunia sepak bola hingga hari ini semestinya dilihat pada
aspek perlawanan, sekurang-kurangnya ketidakadilan di dalam kebijakan
publik. Demikian juga GOT. Sepak bola harus mengakrabkan masyarakat.
Untuk apa? Basis kekuatan yang mampu menjebol segala keruwetan yang
diciptakan kekuasaan, dan sistem yang kotor.
Seperti isu yang hangat hari-hari ini tentang penggusuran lahan masyarakat oleh oligarki tambang di Halmahera Timur. Pertanyaannya sederhana, bagaimana kita memanfaatkan ruang sosial yang terbentuk di Gurabati Open Tournament? Bisakah eksistensi Socrates dan Barra Bravas bisa hadir untuk menyiasati fenomena rezim saat ini?
Penulis adalah Anak Muda Maluku Utara. (*)