Kamis, 19 Juni 2025

GOT: Sepak Bola dan Keakraban Sosial

M. Arraudhy Do Husain (Istimewa/kaidahmalut)

Komunitas-komunitas sosial yang terorganisir tanpa afiliasi, bergerak dan
bersorak-sorai ke stadion sebenarnya menjadi basis kekuatan sosial yang kuat.
Dari sini akan timbul kesadaran kolektif, jika terdapat isu-isu yang mengandung
unsur ketidakberpihakan kepada masyarakat.

Misalnya di Argentina. Ketika negara tempat kelahiran Lionel Messi itu mengalami bencana ekonomi, inflasi parah, ada kelompok suporter, Barra Bravas, yang turun ke jalan untuk menolak kebijakan efisiensi yang hanya menguntungkan pemilik modal dan kelompok elit.

Presiden Javier Milei dianggap bertanggung jawab atas inflasi parah yang dialami negara tersebut. Salah satu isu adalah kebijakan terkait para pensiunan yang sudah berumur lanjut. Barra Bravas adalah tempat dipertemukannya kelompok-kelompok suporter fanatik dari berbagai klub. Mereka melancarkan protes, melawan rezim kekuasaan yang represif terhadap rakyat. Menurut mereka, negara mengeluarkan kebijakan dan rakyat dikorbankan, adalah waktu di mana seluruh sumber daya sosial bergerak.

Stadion tidak sekedar tempat bermain dan menonton olahraga paling populer sedunia, namun berubah menjadi ruang sosial. Stadion bertransformasi menjadi tempat membangun solidaritas, dan mempertahankan ingatan kolektif atas ketidakadilan, dan kemudian massa tumpah ruah ke jalanan.

Mereka berkumpul bukan hanya untuk mendukung klub kesayangan, tetapi juga memobilisasi massa. Dalam kurun waktu tahun 1980 hingga 1990-an, Barra Bravas menjadi kelompok suporter yang militan. Contoh lain adalah Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang kini berusia senja, 95 Tahun. PSSI didirikan sebagai repson terhadap rasisme penjajah, karena saat itu kompetisi resmi hanya bagi orang-orang Belanda.