Kamis, 19 Juni 2025

GOT: Sepak Bola dan Keakraban Sosial

M. Arraudhy Do Husain (Istimewa/kaidahmalut)

Secara umum, Hooliganisme punya sejarah panjang dan perkembangannya terus berlanjut, baik di Inggris maupun di berbagai negara lain, termasuk Indonesia.

Kita ambil contoh pada Liga 1 Indonesia 2023/2024 yang dilansir detikSepakbola, terdapat sepuluh kerusuhan penonton sejauh 21 pekan. Seperti yang terjadi saat Dewa United bertamu di kandang PSM Makassar, Gelora BJ BJ Habibie, Pare-pare, Sulawesi Selatan. Kericuhan antar suporter terjadi di tribun selatan stadion. Suporter saling lempar sampai pengeroyokan. Dari insiden tersebut, empat orang terluka. Kasus lainnya ketika PSIS menjamu PSS. Suporter ricuh saat pertandingan memasuki injury time. PSIS unggul dengan skor 1-0. Yoyok Sukawi, pemilik klub PSIS, terkena lemparan benda keras dan mendapatkan delapan jahitan.

Kekacauan yang terjadi pada 2 Desember di kandang Mahesa Jenar ini memaksakan Polresta Semarang memeriksa sebanyak 13 orang. Masih ingatkah dengan Tragedi Kanjuruhan? Hery Prasetyo (2025) dalam catatannya ia menulis, “Tragedi Kanjuruhan bukan hanya menjadi duka bagi sepak bola Indonesia, tetapi juga potret nyata budaya impunitas masih mengakar. Keadilan bagi korban terasa jauh. Hukuman ringan bagi para pelaku hanya mempertegas bahwa nyawa masyarakat tidak lebih dari angka”.

Peristiwa ini merupakan kekejaman negara terhadap rakyat, tetapi justru membentuk soliditas diantara sesama suporter yang sebelumnya saling membenci, saling menyerang. Hasilnya, tuntutan keadilan bergelegar dari segala penjuru; Bandung, Jakarta, Surabaya sampai dengan Makassar. Kata-kata yang keluar dari corong dalam gerakan tersebut adalah hukum yang adil.

Pastinya semangat itu berangkat dari ketimpangan yang diciptakan oleh sistem
kekuasaan. Di sini, sebuah ketegasan menjadi lebih jelas bahwa suporter tidak
hanya menonton sepak bola, tetapi dapat mengubah dirinya sebagai kekuatan
sosial. Spanduk-spanduk protes seperti perampasan lahan di Taman Sari, Dago
Elos, Pakel, Kulon Progo, Bara-baraya Makassar dan lain sebagainya sering
dibentangkan. Isu sosial lain pun banyak diangkat di bangku tribun.

Bagaimana dengan GOT?
Kericuhan suporter juga sering menghiasi jalannya penyelenggaraan Gurabati Open Tournament (GOT), sebuah event sepak bola yang dimotori oleh Ikatan Pemuda Pelajar Gurabati (IPPG).

Dimulai sejak 1989, GOT kini berusia 36 tahun dan sudah 27 kali bergulir. Tahun 2025 ini, tim yang berlaga tidak hanya dari Kota Tidore Kepulauan sebagaimana GOT yang lalu-lalu. Kota Ternate, Halmahera Tengah, Halmahera Utara, Halmahera Selatan dan ada juga utusan dari tanah Papua, Abstrak Jayapura yang dikomandoi mantan striker Tim Nasional Indonesia, Boaz Salosa.

Ketika laga Perstug melawan Maldini FC dan Pusam kontra Persiga, kericuhan tak terhindarkan. Hal ini menambah panjang daftar kekacauan yang terjadi dalam sejarah sepakbola di negeri ini. Sportivitas sepak bola seolah dicederai, tentu saja bukan tanpa alasan. Memang, kelalaian melekat pada semua pihak secara kolektif dan diperlukan langkah-langkah evaluatif ke depannya.

Bagi saya, GOT sudah seharusnya menjadi instrumen dan lokomotif gerakan-gerakan sosial dan kemanusiaan. Kekuataan itu juga ada di GOT. Kita melihat adanya perjumpaan gagasan dan sosio-kultural. Suporter dan penonton yang berkumpul dan menyaksikan tim mereka, bahkan individu-individu yang mereka idolakan, eksplisit menguatkan hubungan satu sama lain dalam konteks sosial.