Bayangkan saja, pada situasi warga sedang sengsara seperti pada cuplikan video itu, dan para pejabat masih bisa berbohong untuk menutupi kebohongan lain. Sirkulasi elit untuk menutupi “wajah kusam” pemerintah sepertinya makin menggurita.
Sepotong video menampilkan di Universitas Khairun Ternate, Kepala Bappelitbangda Kota Ternate, memuji-muji Wali Kota dan menyebut tahun depan (2024) pemerintah akan mengalokasikan senilai Rp15 miliar untuk dermaga Hiri.
Tetapi di tempat lain setelah KNPI Kota Ternate mengadakan diskusi bedah APBD, beliau menyebut Rp10 miliar untuk dermaga Hiri. Sedangkan pada berita tertentu menyebut 13 Milyar (cermat.co.id, 2023).
Pertanyaanya, berapa sebenarnya volume anggaran keseluruhan yang tertuang dalam RAB proyek pelabuhan Hiri? Sangat simpang siur, akibat kealpaan pemerintah menyampaikan secara terbuka dan terukur. Ini tandanya perencanaan terkesan tidak jelas dan para elit ini, saling lempar tanggung jawab, maksud memproduksi kemunafikan, sembari ingin tetap berkuasa.
Mulut ringan pejabat tanpa rasa malu menjadi “penyakit” yang mematikan perkembangan menuju kota inklusif. Kota ini tersandra oleh kemunafikan elitis yang secara berulang-ulang tampil, mengisi platform kepentingan politik.
Orang Hiri dan segenap insan peduli pelabuhan, baik wartawan, praktisi, maupun kawan-kawan mahasiswa dari berbagai daerah dan organisasi.
Mereka adalah bagian integral warga Kota yang sadar akan semangat politik pembangunan, bahwa kekuasaan harus ditegur, dikritik secara kolektif. Sebab ini adalah hak kewargaan kita semua dan butuh kritik berbasis data, yang bersifat konstruktif.
Kalau pemerintahan menanggapi itu semua atas dasar “kepanikan”, karena kepentingan berkuasa (the will to power) “terganggu”, kondisi ini menampilkan kadar terendah dari kewajiban moral memenuhi janji, sebagai kepala daerah dan orang-orang diposisi strategis.
Pemerintah terlihat “serampangan” bicara dan panik memandu jalannya pembangunan daerah. Pada akhirnya, kesan destruktif yang dipertontonkan pemerintah dalam sirkulasi bahasa elit di ruang publik.
Meskipun mengorbankan kenikmatan warga merasakan keadilan, namun berbohong masih menjadi perisai utama menjaga elektabilitas politik.