Padahal, surat itu bertujuan agar pemerintah, legislatif dan masyarakat duduk bersama menukarkan gagasan sejauh mana perencanaan (master plan) dan politik penganggaran paripurna pengesahan.
Meminjam istilah Tania Murray Li (2012), AMPUH punya langkah the will to improve (kehendak untuk memperbaiki), dalam wujud adanya partisipasi warga dalam perencanaan dan kerja-kerja pengambilan keputusan secara bersama (kolektif-kolegial).
Menginginkan agar ada politik egaliter di ruang legislatif, termasuk transparansi birokratis. Sekarang, potret buram dua lembaga besar itu adalah ancaman politik yang berpengaruh bukan hanya pada konteks proyek pelabuhan Hiri, tetapi ikut mengancam keberlangsungan pembangunan di seluruh wilayah kota Ternate.
Bukankah kita pernah dikejutkan dengan adanya “proyek fiktif”. Ini perilaku menyimpang elit kota yang perlu diberikan hukuman moral dan sosial disamping hukuman politik elektoral.
Punggawa institusi negara secara nyata menodai adab “mahe se gulfino (malu dan takut)” mencederai nilai-nilai demokrasi. Sebagai contoh, per 27 Oktober 2023, master plan sebagai dokumen acuan dasar pembangunan pelabuhan, tak pernah dipublis sama sekali.
Bukankah itu dokumen negara yang bersifat publik? Adalah ukuran sederhana untuk menyebut pemerintah ekslusif, bukan inklusif. Termasuk hak warga untuk mengetahui kandungan barang publik berupa draf APBD dikekang.
Padahal dari dokumen itulah mereka memproteksi tugas-tugas keadilan. Dengan demikian, pejabat daerah telah melanggar aturan keterbukaan informasi publik, atau kalimat lain, kota ini ekslusif karena tak mementingkan data dan transparansi. Sampai kapan “kebusukan” mengelola pemerintahan dan lembaga legislatif berakhir di bumi Sultan Baabullah?