Senin, 25 November 2024
Opini  

Janji Wali Kota; “Harga Diri” yang Tergadai

Wawan Ilyas (Istimewa/Kaidahmalut)

Data dan Sikap Eksklusif.

Melalui kasus pelabuhan Hiri, dapat dipahami Kota Ternate kehilangan ruang komunikasi yang “cair”, dalam wujud keelokan berbahasa publik pejabat daerah kepada warga.

Kamuflase politik tumbuh melibatkan pihak eksekutif maupun legislatif. Semacam ambisi dan kehendak kuasa, yang dilepaskan secara egois dan terbuka, namun tanpa indikator konseptual dan perangkat operasional secara terstruktur dan rasional.

Di kubu pemerintah, meskipun melibatkan sejumlah akademisi, namun perencana tidak punya kepekaan lapangan untuk mendesain fasilitas pelabuhan, terutama tata letak dan konstruksi pemecah ombak (breakwater).

Menurut kajian kawan-kawan AMPUH, akademisi mendesain sesuai permintaan pemerintah, bukan berdasarkan kondisi dan kebutuhan di lapangan. Pemerintah pernah membangun rasionalisasi untuk meminimalisir anggaran dengan “metode rekayasa”. Agak kacau, ketika diketahui, metode rekayasa menempatkan pintu masuk pelabuhan tepat di arah datangnya ombak.

Logika perencanaan salah kaprah, karena mengancam keselamatan penumpang dan motoris. Tujuan dibangun breakwater itu memecah, menghalangi, atau memperkecil tekanan ombak. Lalu kenapa desain pintu masuk tepat di arah amukan ombak? Seolah-olah, metode rekayasa adalah kebenaran ilmiah, meskipun tanpa didukung data-data empirik.

Berangkat dari bukti itulah AMPUH mengkritik keras, dan menyarankan supaya kembali ke perencaan awal menggunakan data-data langsung dari warga.

Orang boleh saja menganggap itu biasa saja dengan mengatakan “ce.. skarang itu dong so bikin itu kong”. Namun begitu dilihat dari sudut governmentality ala Michel Foucault, pemerintah sudah memperlihatkan citra buruk dari aspek perencanaan dan implementasi, lalu mewacanakan semua itu sebagai solusi.

Ada egoisme yang tersumbat dalam tubuh kekuasaan kota. Bukan lagi mengakomodasi pertarungan ide dan gagasan pembangunan, namun memperdalam pertarungan “dendam politik” antar rezim kekuasaan lewat wacana (discourse) semata.

Satu fakta pemandangan lainnya bahwa pemerintah lemah dalam political will. Kelemahan ini secara instrumental terbaca dari tidak terkonsolidirnya tupoksi Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kota Ternate.

Secara mendasar, partisipatif warga memberikan data-data perencanaan akhirnya sia-sia belaka karena tak dijadikan patokan politik anggaran. Politik pengakuan pemerintah jadi kabur membaca partisipasi warga sebagai fondasi pembangunan.

Namun anehnya, instansi vertikal kejaksaan dan kepolisian dikucur anggaran masing-masing Rp9 miliar dan Rp6 miliar dalam postur anggaran 2023 (laman lpse.ternatekota, 2023).

Untuk melihat suatu komitmen dan keikhlasan pemimpin, tidak boleh semata indikator dari mulut, tapi realisasi kebijakannya seperti apa. Harus dibuktikan lewat perencanaan yang matang serta alokasi anggaran yang tepat sasaran dan kebutuhan.

Sementara di kubu legislatif, kita tidak temukan kerja keras legislasi, bagjeting dan pengawasan sebagai tidak fungsi pokok politik di perlemen. Polarisasi kekuasaan sudah sampai puncak sandiwara, begitu ketua parlemen menyebut mereka bingung jika pemerintah alokasikan anggaran sebanyak Rp9 miliar, untuk kejaksaan (poskomalut.com, 2023).

Jika demikian, disaat pembahasan anggaran induk 2023 hingga pengesahan, yang kewenangannya ada di lembaga legislatif, para legislator kerjanya apa? Saya sebut ini bentuk kejahatan sistemik dalam institusi politik dan pemerintahan, jika tidak disebut kelalaian fatal.

Dalam teori Trias Politika Montesquieu, statemen ketua parlemen menunjukkan memudarnya otonomi dan kewenangan politik legislatif, sekaligus pelucutan hak warga karena kebutuhan dasar tidak dikawal. Lebih perhatikan instansi vertikal sama maksudnya pemerintah mengutamakan kepentingan sesama elit, bukan warga negara.

Saya tak bisa percaya model pemerintahan dan legislatif semacam ini bisa mengantarkan Kota Ternate menuju gerbang perubahan yang inklusif, egaliter, dan berkeadilan.

Semakin jelas ketidakberpihakan ketika surat permohonan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilayangkan AMPUH, sejak akhir Agustus tidak ditindaklanjuti hingga paripurna pengesahan APBD-P 2023.