“UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 sendiri lahir harus dipahami dalam konteks politik yang sangat berbeda, yaitu masa pasca-revolusi kemerdekaan, dan seharusnya tidak lagi digunakan secara serampangan dalam konteks demokrasi hari ini. Penggunaan pasal ini menunjukkan kemunduran cara pandang aparat hsusunya Polda Maluku Utara terhadap hak rakyat dalam menyuarakan keberatan, serta merupakan bentuk kriminalisasi yang terang-terangan terhadap masyarakat adat,” terangnya dalam aksi.

Kata Reza, hal ini juga memperkuat dugaan bahwa proses hukum terhadap 11 warga tidak bertujuan untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk membungkam perlawanan dan melindungi kepentingan korporasi tambang.

“Maka sangat penting untuk mengoreksi penggunaan pasal-pasal represif warisan masa darurat ini, dari sistem hukum kita. Agar tidak terus digunakan sebagai alat kekuasaan, untuk menekan warga yang berjuang mempertahankan haknya. Lagian sejak kapan perusahaan tambang yang beroprasi itu punya tanah, yang ada datang berinvestasi, menawarkan penjualan tanah terhadap rakyat dengan harga murah agar bisa dibeli pemilik tambang,” teriaknya di depan massa aksi lainnya.

Ia juga memaparkan hasil temuan berdasarkan dokumen resmi Gakkum Kehutanan (Surat Tugas No. ST.136/GakkumHUT.II/GKM.01.03/TU/B/2025) memperlihatkan bahwa, PT Position patut diduga melakukan praktik ilegal mining.

“Jika benar, maka negara seharusnya mencabut izin perusahaan tersebut. Namun hingga kini belum ada proses hukum signifikan terhadap korporasi. Kami juga mendesak Kejaksaan Agung dan Mabes Polri untuk mengusut potensi kerugian negara yang diperkirakan mencapai hampir Rp10 triliun, akibat aktivitas tambang ini,” paparnya.

Tak hanya itu, bagi FORMAT PRAGA, kasus ini adalah cerminan dari fenomena state capture, ketika kebijakan negara dikendalikan oleh segelintir elit ekonomi dan politik. Warga yang mempertahankan ruang hidup diperlakukan sebagai ancaman, sementara korporasi perusak lingkungan justru dilindungi sebagai investor. Inilah saat ketika hukum berhenti menjadi alat keadilan, dan berubah menjadi instrumen kekuasaan yang membungkam rakyat.

“Tindakan aparat dalam kasus ini jelas tidak mencerminkan prinsip keadilan. Pertanyaannya, mengapa dugaan pelanggaran hukum oleh PT Position tidak diusut oleh Mabes Polri? Kriminalisasi terhadap 11 warga adalah bentuk pelanggaran hak atas tanah, lingkungan, dan kebebasan berekspresi. Lebih parah lagi, sidang dilakukan secara virtual tanpa alasan yang kuat. Tidak ada situasi darurat seperti pandemi, bencana alam, atau kerusuhan yang membenarkan sidang virtual,” pungkasnya.

“Ini menjadi kejanggalan paling lucu dan tragis dalam proses hukum terhadap warga adat Maba Sangaji. Sidang virtual yang tanpa alasan objektif, membuka kemungkinan bahwa ini adalah upaya untuk membatasi akses publik dan media, serta menutup transparansi proses hukum,” tukasnya.

Dalam aksi ini juga, FORMAT PRAGA menyatakan sikap dan menyampaikan 5 tuntutan, antara lain:

  1. Bebaskan 11 warga adat Maba Sangaji tanpa syarat
  2. Hentikan seluruh aktivitas tambang PT Position, sekaligus melakukan audit investigasi khusus dan cabut izin perusahaan.
  3. Desak Kejaksaan Agung untuk melakukan supervisi dan mengawal langsung proses persidangan di
    Pengadilan Negeri Soasio Tidore Kepulauan, agar proses hukum berlangsung adil dan transparan, karena sidang virtual telah menutup ruang partisipasi publik.
  4. Desak Kapolri untuk menyelidiki dugaan keterlibatan aparat dalam mendukung aktivitas ilegal mining.
  5. Lindungi hak masyarakat adat dan perkuat posisi hukum masyarakat lokal dalam menghadapi investasi
    ekstraktif, yang merampas ruang hidup.

Front ini juga menyuarakan Hentikan kriminalisasi. Tarik aparat dari konflik rakyat dan tambang dan tegakkan hukum dengan adil, bukan atas dasar
kepentingan modal. (*)