“Bagi kami terlalu terang bahwa terdapat dugaan keberpihakan institusi ini kepada
kepentingan pemodal, bukan kepada keadilan. Jika institusi Polri ingin menjaga sedikit saja kehormatan di mata rakyat, maka pembiaran terhadap pelanggaran ini tidak boleh dilanjutkan. Hentikan kriminalisasi, tarik aparat dari konflik rakyat vs tambang, dan tindak tegas mereka yang menyalahgunakan kewenangan,” tegasnya.
Reza menyatakan, bahwa negara tidak boleh tunduk kepada kekuasaan korporasi tambang. Aparat tidak boleh menjadi alat yang dikendalikan korporasi.
Kasus ini terjadi di tengah operasi tambang nikel oleh PT Position, yang ditengarai telah melakukan berbagai pelanggaran administratif dan hukum, termasuk. Dugaan penambangan di luar wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP), perusakan kawasan hutan tanpa izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), dan pencemaran lingkungan.
Alih-alih menindak korporasi, sambung Reza, aparat penegak hukum justru menangkap dan menetapkan 11 warga sebagai tersangka dengan tuduhan “premanisme” dan “menghalangi operasi tambang berizin”.
Padahal, Pasal 28H UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta tempat tinggal yang layak. Aktivitas PT Position yang menggusur lahan dan menggunduli hutan tanpa konsultasi publik, serta persetujuan masyarakat adat adalah bentuk pelanggaran hukum lingkungan dan hak kolektif masyarakat adat.

“Sementara warga ditangkap dan diproses hukum secara cepat, pelanggaran oleh PT Position justru belum mendapat tindakan serius dari aparat. Ini mencerminkan wajah hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas bertentangan dengan asas keadilan dan kesetaraan di depan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945,” cetusnya.
Kritik yang perlu dilayangkan terkait penggunaan Pasal 162 UU Minerba terhadap warga penolak tambang yang dianggap menghalangi kegiatan pertambangan berizin, telah kerap dijadikan dalih untuk membungkam protes rakyat.
“Padahal, protes terhadap pelanggaran lingkungan dan ancaman terhadap ruang hidup adalah hak konstitusional, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Selain Pasal 162 UU Minerba, Polda Maluku Utara juga menerapkan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 terkait senjata tajam terhadap 11 warga Maba Sangaji,” ujarnya.
“Penggunaan undang-undang ini sangat tidak proporsional dan cenderung mengada-ada. Dalam konteks masyarakat adat yang hidup di wilayah pegunungan dan hutan, membawa alat seperti parang adalah bagian dari aktivitas keseharian dan subsistensi, bukan bentuk ancaman atau kekerasan,” sambungnya.
Penerapan pasal ini bukan hanya cacat secara substansi, tetapi juga memperlihatkan upaya sistematis untuk mereduksi makna protes warga adat menjadi tindakan kriminal. Padahal yang sedang terjadi adalah perlawanan atas perampasan ruang hidup, bukan kejahatan yang membahayakan negara.

 
											 
																	
															 
															 
															 
															 
							 
							 
							 
							 
								 
								 
								 
								 
								
Tinggalkan Balasan