TERNATE, KAIDAH MALUT – Tiga Akademisi menyoroti kinerja Wali Kota, M Tauhid Soleman dan Wakil Wali Kota, Jasri Usman dalam memasuki dua tahun kepemimpinan di Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate.

Pasca dilantik pada tanggal 26 April 2021 lalu, pasangan dengan akronim TULUS ini dinilai belum maksimal dalam menjalankan visi misi Ternate Andalan (Mandiri dan Berkeadilan).

Hal tersebut diungkapkan ketiga Akademisi, di antaranya Herman Oesman, Kasman Hi. Ahmad, dan Agusmawanda dalam dialog terbuka dengan tema “Menimbang Visi Misi Andalan Antara Harapan dan Kenyataan”.

Diskusi terbuka yang diinisiasi oleh pengurus cabang Ikatan Muhammadiyah (IMM) Kota Ternate itu, dilaksanakan pada Jumat, 14 Januari 2023, di Kedai kopi Sabeba Ternate, yang dipandu moderator, Darman Leko.

Menurut ketiganya, Tauhid dan Jasri belum ada capaian yang signifikan, jika disandingkan dengan visi misi Andalan yang digadang-gadangkan keduanya, agar bisa merubah Kota Ternate lebih baik.

Selama 21 bulan menahkodai Kota Ternate, sejumlah pembangunan gencar dilakukan, perombakan jabatan struktural sampai pada penanganan sampah, air dan pasar yang sampai saat ini belum memiliki kepuasan bagi masyarakat Kota Ternate.

Hal itu terlihat dengan terbengkalainya bangunan multiyears, seperti Plaza Gamalama Modern dan Sport Hall yang terletak di Kelurahan Ubo Ubo. Padahal kedua aset daerah tersebut memiliki sumber pendapatan yang menjanjikan, apabila dikelola dengan baik.

Alih-alih memperoleh keuntungan, malah bangunan seperti Plaza Gamalama Modern justru membuat hutang, semakin membengkak. Mulai dari pemasangan meteran listrik berskala besar, namun tak difungsikan sampai pada pembiaran pemerintah dengan tidak segera menyelesaikan, administrasi atau tunggakan baik itu tagihan listrik Plaza sebesar Rp108,4 juta maupun sisa retensi sebesar Rp1,1 miliar kepada pihak rekanan.

“Kalau saya sih menyarankan kepada Pemkot, agar Plaza itu dialihfungsikan saja menjadi RSUD Kota Ternate. Karena itu cocok di pusat kota, saluran sanitasi juga pas mengarah ke laut sisa dibikin saja bagaimana pengaturannya. Kemudian pemerintah bisa melakukan pembebasan lahan, untuk areal tersebut guna dijadikan lahan parkir. Dari pada dibangun dengan anggaran besar, sementara penggunaannya sampai sudah masuk tahun 2023 belum juga difungsikan,” kata Kasman dalam dialog.

Menurut Kasman, pemerintah harus memperhatikan aspek penting dan urgen sesuai kebutuhan masyarakat, seperti tuntutan warga Pulau Hiri soal pelabuhan Hiri di Kelurahan Sulamdaha, yang sampai saat ini penyelesaian pekerjaannya masih dijanjikan pemerintah.

Dalam diskusi itu juga, para Akademisi mengkritik soal gonta-ganti Kepala sekolah yang terjadi selama pemerintahan Tauhid-Jasri (TULUS).

Menurut Akademisi UMMU, Agusmawanda ini semacam bisnis politik. Kepala sekolah yang awalnya sudah nyaman dan berbaur dengan lingkungan sekolah, baik dengan murid maupun orang tua siswa, tiba-tiba lantaran ada politisasi di dalamnya lantas Kepala sekolah tersebut dipindahkan, atau dicopot.

“Saya berharap pemerintah jangan mencampuadukan politik dengan pendidikan, karena ini menyangkut masa depan,” cetus Agus.

Sentilan lain juga datang dari Sosiolog Herman Oesman, yang menyorot soal hubungan Tauhid-Jasri.

“Sedari awal, sudah jadi rahasia publik, keduanya tak harmonis. Tauhid dan Jasri mungkin kurang menonton film kartun “Tom dan Jerry”. Film kartun ini sebenarnya model pembelajaran, bagaimana mengelola konflik dengan akhir yang baik, ada solusi. Sebaliknya, Tauhid-Jasri tidak memiliki semacam model bagaimana mengelola konflik di tubuh birokrasi agar memberikan manfaat. Jadi perlu menonton film kartun, “Tom and Jerry” celetuk Bang Her sapaan akrabnya.

Kritikan dan masukan yang dibahas dalam dialog tersebut, diambil kesimpulan bahwa pemerintahan Andalan belum bisa diandalkan dan masih “suka-suka”.

Belum lagi penobatan Kota Ternate sebagai Kota Rempah dengan city branding Smart City, yang dianggap ketiga akademisi itu sebagai slogan, tidak berkonsep dan tidak beridentitas.

Sebut saja Smart City atau Kota Pintar, yang berbarengan dengan era digitalisasi tapi pelayanan publik seperti pembayaran iuran air saja, masih manual. Sama halnya, konsep Kota Rempah yang tidak memiliki identitas. Maksud identitas, yakni penerapan yang yang dimulai dari pemerintah tidak ada. Contoh sederhananya, welcome drink di pintu-pintu masuk Kota Ternate seperti bandara atau pelabuhan bahkan hotel-hotel. Beberapa titik itu, tidak ada yang ditonjolkan pemerintah dalam mengenalkan kepada pengunjung atau tamu, bahwa kita adalah Kota Rempah.

Nuansa rempah bukan sekadar baliho yang terpajang di bahu jalan atau depan Kantor Wali Kota Ternate, tetapi bagaimana pemerintah mengemas konsep rempah, sehingga orang yang datang terkesan dengan penyajian rempah-rempah yang ada di Kota Ternate, mulai dari kuliner, hingga menjadi bagian dari keseharian warga kota. Kota Ternate kaya akan hasil bumi seperti pala, cengkeh, dan komoditi lainnya namun sangat disayangkan pemanfaatannya belum maksimal.

Padahal kita punya pelaku-pelaku usaha UMKM, tetapi lagi-lagi Ternate tidak memiliki brand sendiri, sehingga disebut “copy paste” kota lain.

Persoalan lainnya, yakni sebagai kota jasa tentu siapa saja bisa datang dan masuk ke Ternate, kapan saja dan apa saja yang diperdagangkan di sini, tentu menjadikan perputaran ekonomi kita semakin baik.

Orang yang datang dan menetap atau sekadar singgah di Ternate, menginginkan kenyamanan, keamanan dan keuntungan. Sehingga kita sebagai tuan rumah harus mampu memberikan pelayanan, yang baik bagi tamu yang datang. (*)