Padahal, hadis Nabi juga melarang, “Apabila menempatkan orang bukan pada ahlinya, maka tunggulah masa kehancuran”.
“Seperti ini, sudah tidak taat pada prinsip-prinsip good governance, tidak taat juga pada prinsip agama,” tambahnya.
Belakangan, kata mantan Dekan Hukum UMMU itu, baru terbukti, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar praktek jual beli jabatan yang selama ini masih samar-samar atau ditutupi.
“Banyak yang terlibat sudah terbukti. Itu sangat berbahaya, menghancurkan birokrasi pemerintahan di Maluku Utara ini. Jadi, fit and proper test untuk apa. Bohong-bohongan,” kesalnya.
Kemudian, dalam manajemen hubungan antar lembaga, kata kandidat doktor Hukum UMI Makassar ini, perlu peran seorang pemimpin yang baik. Tetapi karena pemimpin sudah cacat, tidak lagi berwibawa, tidak lagi didengar bawahan. Maka hancurlah semua atasan dan bawahan.
“Masalah ini terbukti dengan hampir semua jabatan kepala dinas diisi dengan pelaksana tugas (Plt) dan pelaksana haris (Plh), termasuk saling pecat itu,” ungkapnya.
Menurutnya, selama ini, pemimpin di Maluku Utara, baik gubernur maupun kepala SKPD, tidak punya gagasan yang orisinal untuk membangun daerah. Tidak seperti pemimpin-pemimpin di daerah lain.
Zainal Basri Palaguna, misalnya, ketika ia memimpin Makassar atau Sulawesi Selatan di masa Orde Baru, ada konsepnya tentang perubahan pola pikir. Menjadikan Universitas Hasanudin sebagai mitra, ia mengubah pola pikir masyarakat supaya maju, bisa beradaptasi dengan perubahan. “Karena itu, Makassar maju sampai sekarang,” terangnya.
Selain itu, sambung ia, Sulawesi Tenggara, dulu dianggap sebagai provinsi yang paling terbelakang. Tetapi ketika dipimpin oleh Gubernur Alala, dengan konsep Gersamata (Gerakan desa makmur merata), sekarang maju luar biasa. Termasuk di Gorontalo saat di bawah kepemimpinan Fadel Mohamad, bisa memajukan daerah tersebut dari sektor pertanian, jagung.
“Di Maluku Utara, sekelas pimpinan OPD, tidak ada terobosan. Kaya dinas pendidikan. Kepala dinas pendidikan hanya pikir proyek. Bagaimana distribusi proyek. Urusannya hanya dengan kontraktor. Dia tidak berpikir membangun kualitas pendidikan di tingkat SD, SMP, maupun SMA,” katanya.
Karena itu menurutnya, ke depan Maluku Utara membutuhkan pemimpin yang punya gagasan. Bukan hanya mengandalkan pamer muka di baliho.
Ia bilang, ada dua figur yang punya ide dan bisa dipercayakan menjadi pemimpin Maluku Utara ke depan. Salah satunya adalah Sultan Tidore Husain Alting Sjah.
Bagi ia, selain ada gagasan, Sultan Tidore punya keberanian untuk membela kepentingan daerah di pemerintah pusat. Saat itu, ia berani menghadapi pemerintah pusat ketika Luhut Binsar Pandjaitan ingin menjual Pulau Morotai ke Jepang. Termasuk ketika Sultan Tidore di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), walaupun kewenangan DPD terbatas, ia cukup kritis.
“Saya akui orang yang begini, sangat punya visi dan sangat bijak. Dan, katorang (kita) belum lihat dia bafoya (berbohong),” ungkapnya.
Figur yang kedua, kata ia, adalah Muhammad Kasuba. Walaupun ia sering dikaitkan dengan kakaknya, mantan Gubernur yang saat ini terjerat kasus korupsi. Tapi menurut Darsis, setiap orang berbeda. Baginya, ada hal menarik yang dibikin oleh Muhammad Kasuba saat menjadi Bupati Halmahera Selatan selama dua periode.
Muhammad Kasuba membangun kampus dan sekolah sekaligus memberi beasiswa lewat program Satu Desa, Satu Sarjana. Bahkan, semua guru-guru yang lanjut S2 di IAIN Ternate, ia berikan beasiswa. “Selain itu, ribuan pembibitan pala dia kase untuk masyarakat,” katanya.
Kendati begitu, bagi Darsis, yang paling penting bagi calon pemimpin Maluku Utara ke depan adalah, dia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Dengan begitu, ia sepenuhnya dapat mendedikasikan dirinya untuk masyarakat Maluku Utara.
Pemimpin Maluku Utara, sambung Darsis, juga harus dengar pendapat orang lain, termasuk menerima kritikan. “Para cendekiawan harus dirangkul untuk jadi teman dialog. Jadi, harus dengar orang lain, jang bikin diri feodal,” tutupnya. (*)