TERNATE, KAIDAH MALUT – Masih ingat dengan kasus penganiayaan oknum anggota Polres Halmahera Timur bernama Irwandi Mudasir alias Wandi, terhadap seorang ibu rumah tangga yang juga ibu bhayangkari Polres Ternate? Ya, Wandi. Anggota polisi aktif yang didemosi dari Polres Ternate itu, tega menganiaya istri teman se-profesinya beberapa waktu lalu.
Atas perbuatannya itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Ternate telah menjatuhi hukuman 2 tahun penjara, pada Senin, 25 September 2023 lalu. Sayangnya, hal tersebut tak dusertai dengan sidang kode etik secara kelembagaan Polri.
Hal itupun menjadi sorotan DPD Perkumpulan Penasihat dan Konsultan Hukum (PERHAKHI) Maluku Utara, Ahmad Rumasukun. Ahmad menilai, Propam sebagai Devisi yang bertanggung jawab atas masalah pembinaan profesi, seharusnya tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu yang dapat menurunkan kepercayaan publik atas nama baik institusi Polri.
“Tidak cukupkah kasus pelanggaran kode etik Ferdy Sambo dan kawan-kawan menjadi pembelajaran bersama, dalam menangani pelangaran- pelanggaran kode etik di internal kepolisian,” ucapnya kepada media ini, Jumat, 15 Maret 2024.
Menurutnya, Polda Maluku Utara tidak serius dalam menangani kasus penganiayaan tersebut. Apalagi ini dilakukan terhadap perempuan. Padahal faktanya terlapor/teradu telah divonis bersalah dengan putusan pemidanaan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Ternate, bahkan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
“Dari serangkaian proses yang terjadi dalam konteks laporan dugaan pelanggaran kode etik dimaksud, kami menilai Propam Polda Malut, tidak serius menindaklanjuti laporan tersebut,”tegasnya.
padahal faktanya terlapor/teradu telah divonis bersalah dengan putusan pemidanaan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Ternate dan putusan tersebut pun telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
“Lantas, apa, mengapa dan bagaimana belum juga dilakukan sidang kode etik atas laporan dugaan pelanggaran kode etik tersebut,” ucapnya.
Semestinya, kata Ahmad, dengan dasar putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut, proses sidang kode etik di Propam Polda Malut sudah terlaksana. Namun faktanya tidak demikian. “Atau dengan kata lain sampai dengan saat ini proses sidang etik tersebut belum terlaksana, bahkan pelapor/pengadu pun belum dipanggil untuk dimintai keterangan,” sambungnya.
Proses penanganan pelanggaran kode etik semacam ini sangat berpengaruh pada nama baik institusi Polri secara kelembagaan, terkhusus Polda Maluku Utara. “Kami tidak ingin, jika Polda Malut diasumsikan oleh publik sebagai pelindung bagi pelanggar-pelanggar etik,” ungkapnya.
Apabila Propam Polda Malut tidak segera melakukan sidang kode etik, maka asumsi seperti itu pula akan menjadi fakta yang tak terbantahkan untuk disematkan kepada Polda Malut. Untuk meminimalisir tidak terjadinya perubahan asumsi menjadi fakta negatif, Propam sudah harus menggelar sidang etik.
Setiap anggota Polri termasuk di dalamnya Propam Polda Malut dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, senantiasa terpanggil untuk menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan dan penyalahgunaan wewenang.
“Setiap anggota kepolisian dituntut untuk sebisa mungkin mewujudkan komintmen moralnya secara kongkrit dalam penanganan perkara, termasuk dalam hal ini adalah penanganan pelanggaran kode etik yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan,” paparnya.
Baginya, tidak ada pilihan lain tersangka digelar sidang etik atas laporan dimaksud dan jika terbukti, maka berikan sanksi etik yang seadil-adilnya sebagaimana ketentuan perundang- undangan terkait.
“Mengenai dasar hukum proses penanganan laporan, kualifikasi pelanggaran kode etik dan sanksinya, kami sepenuhnya percayakan pada hasil pemeriksaan Devisi Propam Polda Malut. Dengan segala hormat kami meminta kepada Propam Polda Malut, agar segera lakukan sidang etik atas laporan dimaksud, agar laporan tersebut memiliki kepastian hukum baik bagi pelapor/pengadu maupun terlapor/teradu,” tukasnya. (*)