Rabu, 4 Desember 2024

DPRD dan Kadis Dikbud Halbar Saling Tuding Soal Rencana Merger Sekolah. Siapa yang Gagal Paham?

Anggota Komisi III DPRD Halbar, Asdian Taluke | Foto: Istimewa/Malut Kaidah

JAILOLO, KAIDAH MALUT – Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Halmahera Barat (Halbar), Asdian Taluke, menyebut Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadis Dikbud), Harun Kasim, gagal paham terkait rencana merger (penggabungan) sejumlah sekolah yang ada di Halbar.

“Saya rasa Kadis Pendidikan gagal paham. Kalau ingin melakukan merger itu harus pakai payung hukumnya, dan juga konsep merger itu seperti apa,” kata Asdian, Senin, 13 September 2021 lalu.

Menurut Asdian, merger sekolah itu dicanangkan pasca Harun
dilantik sebagai Plt Kadikbud. Seharusnya, Kadis Dikbud paham terkait kondisi Halbar, bukan sebaliknya berbicara menggebu-gebu, padahal minim konsep.

“Yang lebih utama itu soal distribusi guru ke Loloda, karena di Loloda itu sebanyak 27 desa, ada sekolah yang tenaga pengajarnya hanya guru honorer. Ini yang perlu diperhatikan,” tegas Asdian.

Sementara itu, Plt Kadis Dikbud Halbar, Harun Kasim, malah menuding balik Asdian Taluke justru yang gagal paham terkait merger sekolah di Halbar.

Menurut Harun, mergern itu masih dalam tahap perencanaan, dan bukan berarti setelah diusulkan dan langsung diberlakukan.

“Merger sendiri baru saja direncanakan lewat rapat dengar pendapat beberapa hari lalu, tetapi sejumlah anggota dewan yang mengikuti rapat masih belum paham soal sistem penggabungan sekolah,” ungkap Harun, Jumat, 17 September 2021.

Harun bilang, perencanaan merger, membutuhkan pengkajian yang dalam. Termasuk harus berkoordinasi dengan cabang dinas dan pengawas. Karena mereka yang lebih mengetahui soal kondisi sekolah.

“Dari situ kita tahu data dan kondisi sekolah yang akan dimerger,” cetus Harun.

Tak hanya itu, merger sekolah juga harus sesuai dengan kriteria sekolah. Baik dari jumlah siswa yang harus kurang dari 100 siswa, selain itu, merger sekolah juga benar-benar sekolah tidak memiliki ruang kelas, ruang guru, dan ruang UKS.

Kriteria itu, kata Harun, sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2010, yakni sekolah bisa dimerger bila sudah tak memenuhi syarat untuk berdiri sendiri.

Ia juga mengatakan, jika merger dilakukan, maka itu akan mengurangi biaya operasional yang tinggi.

“Efisiensi juga benar-benar menjadi latar peggabungan atau merger,” ujarnya.

Harun menambahkan, merger sekolah, tidak bisa serta merta dilakukan tanpa koordinasi. Penyampaian kepada Bupati juga menjadi syarat, kemudian dibicarakan di DPRD.

“Merger sekolah ini kan baru dalam tahapan perencanaan, jadi jangan dulu salah paham. Kayaknya beberapa anggota DPRD itu yang salah paham soal merger ini,” pungkasnya.*