TIDORE, KAIDAH MALUT – Sebelas orang pejuang lingkungan dari Maba Sangaji mengikuti sidang yang ketiga kalinya di Pengadilan Negeri Soasio Tidore, pada Rabu, 20 Agustus 2025.
Sidant dengan agenda pembacaan Putusan Sela pada perkara Pidana dengan No 109/PID.B/2025/PN SOS atas nama Sahil Abubakar DKK dan pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan nomor perkara 99/PID.B/2025/PN SOS – 108/PID.B/2025/PN SOS.
Dalam perkara kali ini, majelis hakim menolak dan/atau tidak menerima eksepsi tersebut. Padahal dalam eksepsi yang telah diuraikan oleh pengacara warga (Tim Advokasi Anti Kriminalisasi) telah menerangkan bahwa JPU tidak cermat, jelas, dan lengkap dalam memberikan dakwaan kepada perkara 109/PID.B/2025/PN SOS. Kami melihat bahwa perbuatan pidana para terdakwa tidak diuraikan dengan jelas dan lengkap berdasarkan pasal yang didakwakan, bahkan JPU keliru dalam menerapkan pasal dakwaan. Maka jika demikian, hakim seharusnya memberikan putusan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima, sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b dan ayat (3) KUHAP.
Bahkan, dakwaan tersebut bertentangan dengan prinsip Anti SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) sebagaimana yang tercantum dalam pasal 66 UU 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Dalam sidang, majelis hakim berpendapat: “tidak ada bukti yang menunjukan sebelas tahanan sebagai pejuang lingkungan. Majelis hakim saat membacakan Putusan Sela, juga menyampaikan bahwa perkara terkait Anti SLAPP akan diperiksa saat pemeriksaan sidang pokok.
“Oleh Karenanya, kami mendorong hakim agar memakai Perma 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup saat agenda pemeriksaan pokok perkara nanti dan harus secara objektif melihat kasus ini serta memegang prinsip hak asasi manusia sebagai landasan“ ucap Wetub, pengacara 11 pejuang lingkungan Maba Sangaji.
Dalam persidangan tersebut, sekaligus dengan agenda pemeriksaan saksi dari pihak JPU yaitu bagian keamanan PT Position dan saksi ahli dari Dinas kehutanan Halmahera Timur. Saksi aksi bagian keamanan PT Position menjelaskan, dalam keterangannya bahwa sebelas terdakwa membawa senjata tajam dan secara tidak langsung mengancam para pekerja sehingga aktivitas pertambangan dihentikan, karena ada ancaman tersebut.
Tim penasehat hukum (PH) menilai, pernyataan ini tidak sesuai dengan pernyataan lanjutannya. Di mana saksi juga menjelaskan bahwa sebelas terdakwa tidak melakukan kekerasan dengan membawa sajam. Ketidaksesuaian pernyataan ini juga terlihat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menyatakan bahwa saksi merasa takut atas kehadiran warga, tetapi dalam persidangan saksi memberikan pernyataan lain: “saya tidak takut dan merasa terancam,” terang Wetub menirukan kesaksian Husen security PT Position.
“Artinya, ancaman dengan membawa sajam di BAP dan Dakwaan JPU hanyalah alibi atau dibuat-buat. Kami melihat bahwa alasan ini sengaja dimunculkan untuk sengaja menjerat terdakwa, dalam tindakan pidana inilah bentuk kriminalisasi,” ujarnya.
Selanjutnya JPU menghadirkan Ahli dari Dinas Kehutanan Halmahera Timur yang pada pokoknya menerangkan bahwa, lokasi ritual yang dilakukan oleh Para Terdakwa bukan merupakan hutan adat melainkan areal konsesi yang dikuasai oleh PT Position. Ahli menyampingkan fakta bahwa masyarakat adat telah terlebih dahulu hadir memanfaatkan hutan sebagai ruang hidup dan ekonominya, bahkan selama ratusan tahun lamanya.
“Hal ini memperjelas situasi di Halmahera Timur secara khusus, dan Maluku Utara dalam skala yang lebih luas, bahwa sistem hukum kita dan sistem ekonomi ekstraktif telah melupakan sejarah dan memilih pertambangan nikel yang secara faktual, telah merusak hutan dan ekosistem di dalamnya untuk kepentingan ekonomi segelintir orang, alih alih melindungi masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan hutan sebaliknya, mereka disingkirkan secara paksa,” terangnya.
Tim Advokasi Anti Kriminalisasi ini juga menuntut:
- Sebelas warga adat Maba Sangaji merupakan masyarakat yang sedang memperjuangkan tanah, hutan dan sungai yang merupakan bagian dari memperjuangkan lingkungan hidup
- Pengadilan Negeri Soasio harus mempertimbangkan perkara a quo karena alasan SLAPP berdasarkan Perma 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup
- Memulihkan hak serta kemampuan sebelas warga Maba Sangaji dengan harkat dan martabatnya dalam kedudukan yang semula.
- Cabut Izin Usaha Pertambang PT Position dari tanah adat Maba Sangaji, dan seluruh pertambangan di Halmahera Timur maupun di Maluku Utara, karena telah merampas ruang hidup warga. (*)

Tinggalkan Balasan