Kamis, 19 Juni 2025

GOT: Sepak Bola dan Keakraban Sosial

M. Arraudhy Do Husain (Istimewa/kaidahmalut)

M. Arraudhy Do Husain

SETIAP pesepak bola atau orang yang menyukai sepak bola, tentu tahu siapa
Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Viera de Oliveira. Dikenal sebagai “Sang
Dokter”, ia adalah seorang pemain brilian, seorang revolusioner cerdas, dan
seorang pahlawan yang membela apa yang benar.

1980, tahun yang penuh dramatikal kemanusiaan. Tahun itu adalah oase
kediktatoran militer di Brazil. Socrates yang sangat populer saat itu menjadi
kapten Selecao dan Corinthians.

Ia menggunakan sepak bola untuk suarakan demokrasi dengan mencetak gol. Pada 2013, Eric Cantona dalam Football Rebels bercerita “Kita semua ingin mengubah dunia. Itu wajar saja. Dan ketika anda membuat jutaan orang berdiri hanya dengan mencetak gol, anda tiba-tiba berpikir anda bisa melakukannya. Setelah itu anda butuh ide, keberanian, kesadaran sosial dan politik. Dokter Socrates melakukannya”.

Sejarah Socrates kerap menjadi sesuatu yang lantang dibicarakan dalam
konstalasi sepak bola, ketika event besar bergulir (FIFA World Cup). Seperti yang
sudah-sudah, kita menyaksikan piala dunia lebih daripada sekedar kompetisi
dan bisnis, ada panggung demonstrasi yang terkonsolidasi tanpa kepentingan
orang-orang tertentu, karena kemanusiaan disuarakan di situ, penjajahan
dikecam di situ dan seakan-akan membentuk gerakan massa yang mampu
menembus ruang gelap, perbudakan manusia.

Contohnya, penonton yang memenuhi stadion membentangkan bendera Palestina berulang-ulang, sebagai protes terhadap genosida yang dilakukan Israel dan sekutunya. Saya teringat Dennis Nicolaas Maria Bergkamp atau lebih dikenal dengan
Dennis Bergkamp, seorang pemain ternama yang pernah merumput bersama
negara asalnya Belanda dan tiga klub besar, Ajax Amsterdam, Arsenal dan Inter
Milan.

Pada suatu waktu, ia pernah mengungkapkan bahwa, di balik setiap tendangan bola harus ada pemikiran. Bergkamp memberi sinyal kuat kalau bola yang melesat dari kaki adalah proses elaborasi antara pikiran dan tindakan, rencana dan manifestasinya. Jika dibaca dalam konteks kehidupan, argumentasi tersebut sangat filosofis.

Sepak bola mengajarkan banyak hal tentang nilai-nilai kehidupan. Sekalipun banyak catatan dan kisah inspiratif di dunia sepak bola, olahraga modern yang awal mulanya berkembang di daratan biru, Inggris itu, juga meninggalkan jejak buruk. Perkelahian hingga kematian, keretakan hingga kekacauan sosial tidak terlepas dari sepak bola. Di Inggris sendiri misalnya, jejak buruk tersebut menghasilkan sebuah fenomena sosial yang kompleks yang disebut Hooliganisme. Istilah hooligan memiliki akar sejarah yang menarik.

Kata ini awalnya digunakan untuk merujuk pada sekelompok keluarga Irlandia yang suka membuat keributan, dan kemudian menjadi populer di Inggris sebagai sebutan
untuk fans sepak bola yang terlibat dalam kekerasan dan kerusuhan. Hooliganisme dalam sepak bola modern di Inggris bermula sejak abad ke-19, dengan beberapa kelompok suporter mulai melakukan tindakan kekerasan di dan sekitar stadion.